Minggu, 26 Mei 2013

MENGANTISIPASI RISIKO DALAM PELAKSANAAN ANGGARAN




          Risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan atau tidak terduga. Risiko yang dapat terjadi terkait pencairan anggaran negara cukup berat, mulai dari temuan yang bersifat administratif, kegagalan pencapaian tujuan, sampai pada akibat pemborosan dan kerugian keuangan negara yang dapat dibidik dengan tindak pidana korupsi. Jika sudah berindikasi tindak pidana, maka besar kemungkinan pintu penjara sudah menunggu anda! Oleh karena itu, para Pejabat Perbendaharaan Negara harus super hati-hati dalam mengelola dan melaksanakan anggaran negara.

          Saat ini, mekanisme pencairan anggaran telah didesain sangat sederhana dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sederhana karena sebagian besar mekanisme pelaksanaan anggaran dilakukan sepenuhnya Satuan Kerja sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan persyaratan dokumen yang disampaikan ke Kantor Pelayanan perbendaharaan Negara (KPPN) selaku Kuasa Bendahara Umum Negara tidak begitu banyak. Untuk pembayaran langsung ke rekanan persyaratannya hanya dengan menyampaikan Surat Perintah Membayar (SPM) dilampiri Surat Setoran Pajak (SSP),  dan dalam waktu paling lama 1 (satu) jam, KPPN akan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).

          Proses yang sederhana ini diharapkan dapat memperlancar proses pencairan anggaran negara yang pada akhirnya dapat mendorong percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara. Seluruh proses dan tanggung jawab materiil atas proses pelaksanaan anggaran berada pada Kuasa Pengguna Anggaran. Ini artinya KPA pada Satuan Kerja (Satker) memiliki kewenangan yang sangat besar dalam pelaksanaan anggaran. Kewenangan yang sangat besar ini tentunya memiliki risiko yang sangat besar pula. Tidak sedikit para Pejabat Perbendaharaan Negara Satker yang akhirnya masuk penjara karena proses pelaksanaan anggaran negara yang tidak akuntabel dan melawan hukum.

          Seseorang yang dengan sengaja dan sadar melakukan perbuatan melawan hukum, tentu Penjara adalah tempat yang pantas untuk yang bersangkutan. Beda halnya untuk seseorang yang karena ketidaktahuannya terhadap risiko suatu perbuatan, tentunya masuk penjara sangat disayangkan. Oleh karena itu, Pejabat Perbendaharaan Negara (Kuasa Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penandatangan SPM dan Bendahara Pengeluaran) perlu mengantisipasi berbagai risiko dalam pelaksanaan anggaran negara. Jika tidak berhati-hati, maka kerugian tentu akan menimpa, di antaranya: rusaknya nama baik pelaku dan institusi, kerugian fisik dan mental karena ditahan di balik jeruji besi, kerugian finansial untuk membiayai pengacara (mungkin pula biaya ekstra untuk menyuap aparat hukum yang ”nakal”) dan untuk membayar ganti rugi kepada negara. ”Keuntungan” yang diharapkan dengan menjadi ”mafia pelaksanaan anggaran” pun berubah menjadi bencana!

          Berikut ini adalah beberapa risiko dalam proses pelaksanaan anggaran:

1.     Terjadinya Praktek-praktek yang Mengakibatkan Tindak Pidana pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah:

Praktek-praktek tersebut antara lain: Menerima suap dan/atau gratifikasi, menggabungkan pekerjaan (yang seharusnya dipecah), memecah pekerjaan (yang seharusnya digabung) untuk menghindari pelelangan, penunjukan langsung tidak sesuai ketentuan, mengatur/merekayasa proses lelang, memalsukan dokumen perusahaan, menggelembungkan harga (mark up), mensubkontrakkan seluruh pekerjaan, membuat spesifikasi yang mengarah kepada rekanan tertentu, membuat syarat-syarat lelang untuk membatasi peserta lelang, mengurangi kauntitas barang/jasa, mengurangi kualitas barang/jasa, pengadaan fiktif, salah merancang kontrak, kontrak tanpa tersedianya anggaran, pemborosan keuangan negara, dan penentuan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) yang terlalu tinggi. Data dan fakta yang ada, hampir semua Pejabat Perbendaharaan Negara yang dipenjara disebabkan oleh proses pengadaan barang/jasa yang tidak akuntabel dan melawan hukum.

2.     Salah dalam menunjuk Pejabat Perbendaharan Negara dan Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan:

Pejabat Perbendaharaan Negara haruslah personil yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) seharusnya dijabat secara ex-officio oleh Kepala Satker, oleh karena itu apabila ada Satker yang KPA-nya bukan Kepala Satker, tentu adalah suatu pelanggaran ketentuan, kecuali yang memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (6) PMK-190/PMK.05/2012.

Seseorang yang tidak memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa tentunya tidak boleh ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dalam kenyataan, masih banyak PPK yang tidak memiliki sertifikat dimaksud. Satker banyak ”memanipulasi” syarat tersebut dengan menunjuk KPA merangkap PPK, sehingga ”dianggap” tidak wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa Pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 70 Tahun 2012. Padahal hal itu dapat dilakukan dalam hal tidak ada pejabat/pegawai yang memenuhi persyaratan di Satker bersangkutan. Jika ada yang bersertifikat pada Satker tersebut, tetapi tidak ditunjuk sebagai PPK dan malah dirangkap oleh KPA yang tidak bersertifikat, maka hal itu adalah pelanggaran.

Begitu juga dengan Panitia Pengadaan, masih ada yang ditunjuk sebagai anggota Panitia Pengadaan meskipun tidak memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa Pemerintah. Risiko akibat menunjuk pejabat perbendaharaan negara dan panitia/pejabat pengadaan yang tidak berkompeten sesuai kriteria peraturan perundang-undangan adalah dapat dinyatakannya batal demi hukum seluruh proses pelaksanaan anggaran yang telah dilaksanakan yang bersangkutan.

Yang lebih fatal lagi adalah apabila Pejabat Perbendaharaan Negara yang terdiri dari KPA, PPK dan PPSPM di Satker dirangkap oleh 1 (satu) orang. Hal ini tentunya tidak diperbolehkan karena tidak akan terjadi pelaksanaan prinsip saling uji (check and balance) pada Satker bersangkutan. Dalam hal keterbatasan jumlah pejabat/pegawai yang memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai pejabat perbendaharaan negara, perangkapan jabatan dapat dilaksanakan melalui perangkapan jabatan KPA sebagai PPK dan/atau sebagai PPSPM. PPK tidak boleh dirangkap oleh PPSPM, dan Bendahara Pengeluaran tidak dapat dirangkap oleh KPA, PPK maupun PPSPM.


3.     Terlambatnya proses pencatatan perjanjian/kontrak ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN):

Perjanjian/Kontrak yang pembayarannya akan dilakukan dengan SPM-LS wajib dicatatkan ke KPPN paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah ditandatanganinya perjanjian/kontrak. Pencatatan ini tidak semata-mata dianggap sebagai masalah administratif, tetapi sesungguhnya mengandung potensi  fraud juga. Pencatatan kontrak yang terlambat dari ketentuan mengindikasikan adanya sesuatu yang tidak beres dalam proses pengadaan barang/jasa. Auditor akan ”patut dapat menduga” bahwa pengadaannya bermasalah. Pada umumnya masalah tersebut adalah administrasi kontrak yang dibuat belakangan dari pelaksanaan pengadaan yang sesungguhnya. Seharusnya administrasi pengadaan dibuat secara simultan sesuai dengan jadwal dan prosedur pengadaan yang sebenarnya.

Selama ini banyak alasan yang tidak masuk akal disampaikan oleh Satker sebagai alasan ”pembenar” keterlambatannya mencatatkan perjanjian/kontrak ke KPPN, misalnya: disebabkan rekanan terlambat menyampaikan Jaminan Pelaksanaan. Alasan ini sungguh tidak berdasar karena seharusnya jika Jaminan Pelaksanaan belum diserahkan oleh rekanan, tentunya belum boleh dilakukan penandatanganan kontrak. Selama ini KPPN masih memberikan ”toleransi” atas pelanggaran pencatatan perjanjian/kontrak ini, dengan syarat Satker menyampaikan Surat Pernyataan berisi penyebab keterlambatan dan janji untuk tidak mengulangi kembali keterlambatan. Sayangnya keterlambatan itu terjadi lagi, terjadi lagi dan lagi. Ke depannya, apapun alasannya, keterlambatan pencatatan perjanjian/kontrak tidak akan diberikan toleransi lagi. Kebiasaan Satker menganggap remeh ketentuan harus dicegah dengan ketegasan KPPN menerapkan ketentuan secara konsekuen. 

4.     Pembayaran kepada Penyedia Barang/Jasa tidak sesuai dengan prestasi pekerjaan yang sebenarnya:

Hal ini biasanya dilakukan oleh Satker pada saat akhir tahun anggaran. Akibat proses pengadaan yang terlambat, umumnya pekerjaan konstruksi masih dikerjakan sampai dengan akhir tahun dan bahkan berlanjut pada tahun anggaran berikutnya.  Akan tetapi Satker sebagian besar menyampaikan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) 100% sesuai tanggal berakhirnya kontrak kepada KPPN meskipun fakta sebenarnya pekerjaan masih belum selesai 100%. Manipulasi yang sangat kasat mata ini tentunya sangat berisiko bagi Pejabat Perbendaharaan Negara Satker, dan bahkan dapat ikut menyeret pegawai/pejabat di KPPN sebagai saksi (bukan tidak mungkin menjadi tersangka jika aparat hukumnya ”nakal”).

Potensi kerugian negara terdiri dari unsur ”kelebihan pembayaran” dan pendapatan ”denda keterlambatan” yang hilang.  Praktek ini adalah tiket paling murah untuk menuju ke sel penjara! Seharusnya Satker secara obyektif menyampaikan BAPP sesuai prestasi pekerjaan yang sebenarnya dan pekerjaan yang belum selesai tersebut dapat dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya, atau tahun anggaran berikutnya lagi apabila dananya belum tersedia (revisi DIPA tidak memungkinkan).

5.     Pembayaran kepada penyedia barang/jasa terlambat dari ketentuan dalam Perjanjian/Kontrak:

Perjanjian/Kontrak adalah ”undang-undang” bagi para pihak yang membuat dan menandatanganinya. Oleh karena itu seharusnya dipatuhi oleh kedua belah pihak. Sanksi bukan hanya bagi penyedia barang/jasa ketika terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak, tapi juga sanksi bagi PPK yang terlambat melakukan pembayaran kepada penyedia barang/jasa sebagaimana yang telah diatur dalam Perjanjian/Kontrak. Sesuai Pasal 122 Perpres 54 Tahun 2010, PPK yang terlambat melakukan pembayaran dapat dikenakan sanksi ”ganti rugi” sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar berdasarkan tingkat suku bunga yang berlaku saat itu menurut ketentuan Bank Indonesia.

Pada PMK-190/PMK.05/2012 juga telah diatur norma-norma waktu yang harus diperhatikan para Pejabat Perbendaharaan Negara dalam memproses tagihan, baik pada tahap pemrosesan Surat Permintaan Pembayaran (SPP), proses penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM) maupun proses penyampaian SPM yang telah ditandatangani ke KPPN. Norma waktu tersebut pada umumnya masih sering dilanggar oleh Satker.


6.     Bendahara Pengeluaran menarik uang yang dikelolanya ke rekening pribadi:

Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan APBN pada suatu Satker. Uang yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran cukup besar, di antaranya berasal dari Uang Persediaan (UP) maksimal Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah) dan Tambahan Uang Persediaan (TUP) tidak terbatas jumlahnya, serta dari pembayaran langsung melalui Bendahara Pengeluaran (misalnya pembayaran honorarium, perjalanan dinas, dan belanja pegawai non gaji) yang jumlahnya tidak terbatas. Uang-uang tersebut seharusnya berada pada rekening Bendahara Pengeluaran yang telah disetujui pembukaannya oleh KPPN dan/atau berada di kas tunai bendahara pengeluaran. Khusus untuk dana yang berasal dari UP/TUP, pada setiap akhir hari kerja saldonya paling banyak Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah). Dan jika itu adalah uang yang menjadi hak pegawai/penerima hak, maka seharusnya secepatnya dibayarkan kepada yang berhak.

Dapat dibayangkan kerugian negara apabila uang-uang tersebut kemudian ditarik oleh Bendahara Pengeluaran kemudian disimpan ke rekening pribadinya dan pembayaran kepada penerima hak ditunda-tunda dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu diperlukan pengawasan yang ketat dari KPA terhadap pengelolaan uang di rekening Bendahara Pengeluaran. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Pengeluaran harus diawasi secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan yang berpotensi merugikan keuangan negara.

7.     Pertanggungjawaban penggunaan Tambahan Uang Persediaan (TUP) terlambat disampaikan ke KPPN:

TUP adalah uang muka yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah ditetapkan. Unsur penting dari TUP adalah harus dipertanggungjawabkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak SP2D TUP diterbitkan, digunakan untuk kebutuhan mendesak dan bukan merupakan pengeluaran yang harus dilakukan dengan Pembayaran Langsung (LS). Dalam prakteknya, masih banyak Satker yang belum memahami hakekat TUP sehingga selalu meminta TUP seolah-olah TUP adalah ”jatah” bulanan. Padahal rincian rencana penggunaan dana yang disampaikan banyak di antaranya adalah kebutuhan yang seharusnya dapat dibayarkan secara langsung (LS), misalnya untuk pembayaran honorarium bulanan, pembayaran satpam, biaya telepon dan listrik. Tentu jika demikian permintaan TUP akan ditolak oleh KPPN.

Yang lebih memprihatinkan lagi masih banyak Satker yang terlambat mempertanggungjawabkan penggunaan TUP yang telah diberikan dengan alasan yang tidak mendasar. Sampai batas akhir waktu pertanggungjawaban, banyak yang belum mempertanggungjawabkan satu rupiah pun TUP yang telah diberikan, padahal TUP dapat dipertanggungjawabkan secara bertahap. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan keuangan pada Satker masih sangat lemah.

TUP merupakan pengeluaran transito dan status TUP yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran masih sebagai uang negara. TUP baru dicatat sebagai pengeluaran negara apabila Satker telah menyampaikan pertanggungjawaban berupa SPM-PTUP dan KPPN telah menerbitkan SP2D-PTUP-nya. Potensi kerugian negara akibat terlambatnya pertanggungjawaban PTUP cukup besar, yaitu adanya idle cash yang berada di rekening Bendahara Pengeluaran Satker sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh Bendahara Umum Negara.

Untuk menjamin kepatuhan Satker dalam mempertanggungjawabkan TUP, saya berpendapat sebaiknya Satker yang 3 (tiga) kali berturut-turut terlambat mempertanggungjawabkan TUP tidak dapat lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran!

8.     Pengeluaran uang oleh Bendahara Pengeluaran tidak berdasarkan Surat Perintah Bayar (SPBy) dari PPK:

Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara pribadi atas uang maupun surat berharga yang berada dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, apabila terjadi kerugian negara atas uang yang dikelolanya, Bendahara Pengeluaran tidak dapat mengelak untuk sepenuhnya bertanggung jawab. Seorang Bendahara Pengeluaran harus mengelola uang secara tertib dan akuntabel, yaitu hanya melakukan pembayaran jika ada Surat Perintah Bayar (SPBy) yang disetujui dan ditandatangani oleh PPK atas nama KPA. Bendahara Pengeluaran pun wajib menolak perintah pembayaran dalam SPBy apabila tidak memenuhi persyaratan untuk dibayarkan.

Dalam prakteknya, banyak Bendahara Pengeluaran Satker yang melakukan pembayaran (pengeluaran uang) meskipun tidak ada/belum ada SPBy. Apalagi bila ada ”perintah” dari petinggi Satker, Bendahara Pengeluaran biasanya sulit untuk menolak. Hal ini tentunya sangat riskan karena apabila penerima uang tidak dapat mempertanggungjawabkan penggunaan UP/TUP, sepenuhnya tetap menjadi tanggung jawab Bendahara Pengeluaran secara pribadi.
         
9.     Penerbitan SPM GUP dan SPM PTUP oleh PPSPM tanpa memverifikasi bukti SSP yang telah dikonfirmasi KPPN:

Salah satu syarat lampiran SPP GUP dan SPP PTUP dari PPK ke PPSPM adalah SSP yang telah dikonfirmasi KPPN. Seorang PPSPM harus memverifikasi persyaratan tersebut untuk mencegah adanya kerugian negara akibat pembayaran pajak tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Transaksi belanja negara yang dilakukan dengan UP/TUP, pemotongan/pembayaran pajaknya dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran dan disetor melalui bank/pos persepsi mitra kerja KPPN. Bukti SSP yang telah divalidasi Bank/Pos Persepsi baru diyakini kebenarannya masuk ke kas negara setelah mendapat konfirmasi dari KPPN. Bukan hal yang tidak mungkin terjadi, seorang memalsukan SSP dengan mengcopy kembali bukti SSP atas belanja sebelumnya yang berjumlah sama dan melampirkannya sebagai bukti pembayaran pajak untuk belanja lainnya.

Copy SSP tidak lagi dilampirkan pada SPM yang disampaikan ke KPPN sehingga sepenuhnya menjadi kewajiban PPSPM untuk memverifikasi bukti-bukti SSP tersebut. Dalam prakteknya, masih ada PPSPM yang terlalu berani menerbitkan SPM GUP maupun PTUP meskipun SSP belum dikonfirmasi ke KPPN setempat. Hal ini tentunya sangat berpotensi menimbulkan kerugian negara akibat  tidak diterimanya uang pajak ke rekening Kas Negara KPPN.
 
10.             Pemalsuan Surat Perintah Membayar (SPM):

Penerbitan SPM dilakukan melalui sistem aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Kementerian Keuangan. SPM tersebut juga di”injeksi” oleh PPSPM dengan Personal Indentification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda tangan elektronik pada Arsip data Komputer (ADK) SPM. Dalam penerbitan SPM tersebut, PPSPM bertanggung jawab atas keamanan data pada aplikasi SPM, kebenaran SPM dan kesesuaian antara data pada SPM dengan data pada ADK SPM dan penggunaan PIN pada ADK SPM. SPM yang PIN-nya tidak sesuai dengan data di KPPN, secara sistem akan ditolak Aplikasi SP2D KPPN dan tidak dapat diproses lebih lanjut.

Dalam kenyataannya, masih terdapat risiko pemalsuan SPM. Hal ini dapat terjadi karena beberapa PPSPM yang gaptek dan mungkin juga ”terlalu sibuk” sehingga menyerahkan sepenuhnya ”injeksi” PIN PPSPM kepada orang lain, misalnya staff bawahannya. Hal ini tentunya berpotensi menimbulkan kerugian negara apabila terjadi penyampaian SPM Palsu yang kemudian diterbitkan SP2D-nya oleh KPPN. Oleh karena itulah, seharusnya PPSPM tidak ”mendelegasikan” proses ”injeksi” PIN PPSPM kepada orang lain, termasuk bawahannya, karena segala bentuk penyalahgunaan SPM adalah tanggung jawab mutlak PPSPM. SPM Palsu, maka yang masuk penjara seharusnya dan semestinya adalah PPSPM Satker, bukan pegawai/pejabat KPPN!


          Dengan memahami setidaknya 10 risiko di atas, diharapkan Pejabat Perbendaharaan Negara pada Satker dapat melaksanakan anggaran negara secara lebih tertib, efisien, efektif, transparan dan akuntabel serta dapat terhindar dari masalah hukum yang dapat menghancurkan segalanya maupun terhindar dari temuan-temuan yang bersifat admnistratif. Jangan sampai keinginan untuk bermegah-megahan dalam hal keduniawian, mengumpulkan ”uang panas” dengan menjadi ”mafia pelaksanaan anggaran” malah membawa hidup pada kesengsaraan. Jangan sampai baru menyadari dan menyesali kesalahan setelah masuk sel penjara atau setelah maut menjemput. Sebuah penyesalan yang tentunya sangat-sangat terlambat!