Risiko dapat diartikan sebagai
kemungkinan terjadinya akibat buruk (kerugian) yang tidak diinginkan atau tidak
terduga. Risiko yang dapat terjadi terkait pencairan anggaran negara cukup
berat, mulai dari temuan yang bersifat administratif, kegagalan pencapaian
tujuan, sampai pada akibat pemborosan dan kerugian keuangan negara yang dapat
dibidik dengan tindak pidana korupsi. Jika sudah berindikasi tindak pidana,
maka besar kemungkinan pintu penjara sudah menunggu anda! Oleh karena itu, para Pejabat
Perbendaharaan Negara harus super hati-hati dalam mengelola dan melaksanakan
anggaran negara.
Saat
ini, mekanisme pencairan anggaran telah didesain sangat sederhana dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK-190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Sederhana
karena sebagian besar mekanisme pelaksanaan anggaran dilakukan sepenuhnya Satuan
Kerja sebagai Kuasa Pengguna Anggaran dan persyaratan dokumen yang disampaikan
ke Kantor Pelayanan perbendaharaan Negara (KPPN) selaku Kuasa Bendahara Umum
Negara tidak begitu banyak. Untuk pembayaran langsung ke rekanan persyaratannya
hanya dengan menyampaikan Surat Perintah Membayar (SPM) dilampiri Surat Setoran
Pajak (SSP), dan dalam waktu paling lama
1 (satu) jam, KPPN akan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
Proses
yang sederhana ini diharapkan dapat memperlancar proses pencairan anggaran
negara yang pada akhirnya dapat mendorong percepatan pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi negara. Seluruh proses dan tanggung jawab materiil atas
proses pelaksanaan anggaran berada pada Kuasa Pengguna Anggaran. Ini artinya
KPA pada Satuan Kerja (Satker) memiliki kewenangan yang sangat besar dalam
pelaksanaan anggaran. Kewenangan yang sangat besar ini tentunya memiliki risiko
yang sangat besar pula. Tidak sedikit para Pejabat Perbendaharaan Negara Satker
yang akhirnya masuk penjara karena proses pelaksanaan anggaran negara yang
tidak akuntabel dan melawan hukum.
Seseorang
yang dengan sengaja dan sadar melakukan perbuatan melawan hukum, tentu Penjara
adalah tempat yang pantas untuk yang bersangkutan. Beda halnya untuk seseorang
yang karena ketidaktahuannya terhadap risiko suatu perbuatan, tentunya masuk
penjara sangat disayangkan. Oleh karena itu, Pejabat Perbendaharaan Negara (Kuasa
Pengguna Anggaran, Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Penandatangan SPM dan
Bendahara Pengeluaran) perlu mengantisipasi berbagai risiko dalam pelaksanaan
anggaran negara. Jika tidak berhati-hati, maka kerugian tentu akan menimpa, di
antaranya: rusaknya nama baik pelaku dan institusi, kerugian fisik dan mental
karena ditahan di balik jeruji besi, kerugian finansial untuk membiayai
pengacara (mungkin pula biaya ekstra untuk menyuap aparat hukum yang ”nakal”) dan
untuk membayar ganti rugi kepada negara. ”Keuntungan” yang diharapkan dengan menjadi
”mafia pelaksanaan anggaran” pun berubah menjadi bencana!
Berikut ini adalah beberapa
risiko dalam proses pelaksanaan anggaran:
1. Terjadinya Praktek-praktek yang Mengakibatkan Tindak
Pidana pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah:
Praktek-praktek tersebut antara
lain: Menerima suap dan/atau gratifikasi, menggabungkan pekerjaan (yang seharusnya
dipecah), memecah pekerjaan (yang seharusnya digabung) untuk menghindari
pelelangan, penunjukan langsung tidak sesuai ketentuan, mengatur/merekayasa
proses lelang, memalsukan dokumen perusahaan, menggelembungkan harga (mark
up), mensubkontrakkan seluruh pekerjaan, membuat spesifikasi yang
mengarah kepada rekanan tertentu, membuat syarat-syarat lelang untuk membatasi
peserta lelang, mengurangi kauntitas barang/jasa, mengurangi kualitas
barang/jasa, pengadaan fiktif, salah merancang kontrak, kontrak tanpa
tersedianya anggaran, pemborosan keuangan negara, dan penentuan Harga Perkiraan
Sendiri (HPS) yang terlalu tinggi. Data dan fakta yang ada, hampir semua
Pejabat Perbendaharaan Negara yang dipenjara disebabkan oleh proses pengadaan
barang/jasa yang tidak akuntabel dan melawan hukum.
2.
Salah dalam menunjuk
Pejabat Perbendaharan Negara dan Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan:
Pejabat Perbendaharaan
Negara haruslah personil yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)
seharusnya dijabat secara ex-officio oleh Kepala Satker, oleh
karena itu apabila ada Satker yang KPA-nya bukan Kepala Satker, tentu adalah
suatu pelanggaran ketentuan, kecuali yang memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (6)
PMK-190/PMK.05/2012.
Seseorang yang tidak
memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa tentunya tidak boleh
ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK). Dalam kenyataan, masih banyak
PPK yang tidak memiliki sertifikat dimaksud. Satker banyak ”memanipulasi”
syarat tersebut dengan menunjuk KPA merangkap PPK, sehingga ”dianggap” tidak
wajib memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa Pemerintah sebagaimana
diatur dalam Perpres Nomor 70 Tahun 2012. Padahal hal itu dapat dilakukan dalam
hal tidak ada pejabat/pegawai yang memenuhi persyaratan di Satker bersangkutan.
Jika ada yang bersertifikat pada Satker tersebut, tetapi tidak ditunjuk sebagai
PPK dan malah dirangkap oleh KPA yang tidak bersertifikat, maka hal itu adalah
pelanggaran.
Begitu juga dengan
Panitia Pengadaan, masih ada yang ditunjuk sebagai anggota Panitia Pengadaan
meskipun tidak memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa Pemerintah.
Risiko akibat menunjuk pejabat perbendaharaan negara dan panitia/pejabat pengadaan
yang tidak berkompeten sesuai kriteria peraturan perundang-undangan adalah
dapat dinyatakannya batal demi hukum seluruh proses pelaksanaan anggaran yang
telah dilaksanakan yang bersangkutan.
Yang lebih fatal lagi
adalah apabila Pejabat Perbendaharaan Negara yang terdiri dari KPA, PPK dan
PPSPM di Satker dirangkap oleh 1 (satu) orang. Hal ini tentunya tidak
diperbolehkan karena tidak akan terjadi pelaksanaan prinsip saling uji (check
and balance) pada Satker bersangkutan. Dalam hal keterbatasan jumlah
pejabat/pegawai yang memenuhi persyaratan untuk ditetapkan sebagai pejabat
perbendaharaan negara, perangkapan jabatan dapat dilaksanakan melalui
perangkapan jabatan KPA sebagai PPK dan/atau sebagai PPSPM. PPK tidak boleh
dirangkap oleh PPSPM, dan Bendahara Pengeluaran tidak dapat dirangkap oleh KPA,
PPK maupun PPSPM.
3.
Terlambatnya proses
pencatatan perjanjian/kontrak ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN):
Perjanjian/Kontrak yang
pembayarannya akan dilakukan dengan SPM-LS wajib dicatatkan ke KPPN paling
lambat 5 (lima) hari kerja setelah ditandatanganinya perjanjian/kontrak.
Pencatatan ini tidak semata-mata dianggap sebagai masalah administratif, tetapi
sesungguhnya mengandung potensi fraud
juga. Pencatatan kontrak yang terlambat dari ketentuan mengindikasikan adanya
sesuatu yang tidak beres dalam proses pengadaan barang/jasa. Auditor akan
”patut dapat menduga” bahwa pengadaannya bermasalah. Pada umumnya masalah
tersebut adalah administrasi kontrak yang dibuat belakangan dari pelaksanaan
pengadaan yang sesungguhnya. Seharusnya administrasi pengadaan dibuat secara
simultan sesuai dengan jadwal dan prosedur pengadaan yang sebenarnya.
Selama ini banyak alasan yang
tidak masuk akal disampaikan oleh Satker sebagai alasan ”pembenar”
keterlambatannya mencatatkan perjanjian/kontrak ke KPPN, misalnya: disebabkan
rekanan terlambat menyampaikan Jaminan Pelaksanaan. Alasan ini sungguh tidak
berdasar karena seharusnya jika Jaminan Pelaksanaan belum diserahkan oleh
rekanan, tentunya belum boleh dilakukan penandatanganan kontrak. Selama ini
KPPN masih memberikan ”toleransi” atas pelanggaran pencatatan
perjanjian/kontrak ini, dengan syarat Satker menyampaikan Surat Pernyataan
berisi penyebab keterlambatan dan janji untuk tidak mengulangi kembali
keterlambatan. Sayangnya keterlambatan itu terjadi lagi, terjadi lagi dan lagi.
Ke depannya, apapun alasannya, keterlambatan pencatatan perjanjian/kontrak
tidak akan diberikan toleransi lagi. Kebiasaan Satker menganggap remeh
ketentuan harus dicegah dengan ketegasan KPPN menerapkan ketentuan secara
konsekuen.
4.
Pembayaran kepada
Penyedia Barang/Jasa tidak sesuai dengan prestasi pekerjaan yang sebenarnya:
Hal ini biasanya dilakukan oleh
Satker pada saat akhir tahun anggaran. Akibat proses pengadaan yang terlambat,
umumnya pekerjaan konstruksi masih dikerjakan sampai dengan akhir tahun dan
bahkan berlanjut pada tahun anggaran berikutnya. Akan tetapi Satker sebagian besar
menyampaikan Berita Acara Penyelesaian Pekerjaan (BAPP) 100% sesuai tanggal
berakhirnya kontrak kepada KPPN meskipun fakta sebenarnya pekerjaan masih belum
selesai 100%. Manipulasi yang sangat kasat mata ini tentunya sangat berisiko
bagi Pejabat Perbendaharaan Negara Satker, dan bahkan dapat ikut menyeret pegawai/pejabat
di KPPN sebagai saksi (bukan tidak mungkin menjadi tersangka jika aparat
hukumnya ”nakal”).
Potensi kerugian negara terdiri
dari unsur ”kelebihan pembayaran” dan pendapatan ”denda keterlambatan” yang
hilang. Praktek ini adalah tiket paling
murah untuk menuju ke sel penjara! Seharusnya Satker secara obyektif
menyampaikan BAPP sesuai prestasi pekerjaan yang sebenarnya dan pekerjaan yang
belum selesai tersebut dapat dilanjutkan pada tahun anggaran berikutnya, atau
tahun anggaran berikutnya lagi apabila dananya belum tersedia (revisi DIPA tidak
memungkinkan).
5.
Pembayaran kepada
penyedia barang/jasa terlambat dari ketentuan dalam Perjanjian/Kontrak:
Perjanjian/Kontrak adalah ”undang-undang”
bagi para pihak yang membuat dan menandatanganinya. Oleh karena itu seharusnya
dipatuhi oleh kedua belah pihak. Sanksi bukan hanya bagi penyedia barang/jasa
ketika terlambat menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak, tapi juga sanksi bagi
PPK yang terlambat melakukan pembayaran kepada penyedia barang/jasa sebagaimana
yang telah diatur dalam Perjanjian/Kontrak. Sesuai Pasal 122 Perpres 54 Tahun
2010, PPK yang terlambat melakukan pembayaran dapat dikenakan sanksi ”ganti
rugi” sebesar bunga terhadap nilai tagihan yang terlambat dibayar berdasarkan
tingkat suku bunga yang berlaku saat itu menurut ketentuan Bank Indonesia.
Pada PMK-190/PMK.05/2012 juga
telah diatur norma-norma waktu yang harus diperhatikan para Pejabat
Perbendaharaan Negara dalam memproses tagihan, baik pada tahap pemrosesan Surat
Permintaan Pembayaran (SPP), proses penerbitan Surat Perintah Membayar (SPM)
maupun proses penyampaian SPM yang telah ditandatangani ke KPPN. Norma waktu
tersebut pada umumnya masih sering dilanggar oleh Satker.
6.
Bendahara Pengeluaran
menarik uang yang dikelolanya ke rekening pribadi:
Bendahara Pengeluaran adalah
orang yang ditunjuk untuk menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan dan
mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja negara dalam pelaksanaan
APBN pada suatu Satker. Uang yang dikelola oleh Bendahara Pengeluaran cukup
besar, di antaranya berasal dari Uang Persediaan (UP) maksimal Rp500.000.000
(lima ratus juta rupiah) dan Tambahan Uang Persediaan (TUP) tidak terbatas
jumlahnya, serta dari pembayaran langsung melalui Bendahara Pengeluaran (misalnya
pembayaran honorarium, perjalanan dinas, dan belanja pegawai non gaji) yang
jumlahnya tidak terbatas. Uang-uang tersebut seharusnya berada pada rekening
Bendahara Pengeluaran yang telah disetujui pembukaannya oleh KPPN dan/atau
berada di kas tunai bendahara pengeluaran. Khusus untuk dana yang berasal dari
UP/TUP, pada setiap akhir hari kerja saldonya paling banyak Rp50.000.000 (lima
puluh juta rupiah). Dan jika itu adalah uang yang menjadi hak pegawai/penerima
hak, maka seharusnya secepatnya dibayarkan kepada yang berhak.
Dapat dibayangkan kerugian negara
apabila uang-uang tersebut kemudian ditarik oleh Bendahara Pengeluaran kemudian
disimpan ke rekening pribadinya dan pembayaran kepada penerima hak
ditunda-tunda dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu diperlukan
pengawasan yang ketat dari KPA terhadap pengelolaan uang di rekening Bendahara
Pengeluaran. Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Bendahara Pengeluaran harus
diawasi secara ketat untuk mencegah penyalahgunaan yang berpotensi merugikan
keuangan negara.
7.
Pertanggungjawaban
penggunaan Tambahan Uang Persediaan (TUP) terlambat disampaikan ke KPPN:
TUP adalah uang muka yang
diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk kebutuhan yang sangat mendesak
dalam 1 (satu) bulan melebihi pagu UP yang telah ditetapkan. Unsur penting dari
TUP adalah harus dipertanggungjawabkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak SP2D
TUP diterbitkan, digunakan untuk kebutuhan mendesak dan bukan merupakan
pengeluaran yang harus dilakukan dengan Pembayaran Langsung (LS). Dalam
prakteknya, masih banyak Satker yang belum memahami hakekat TUP sehingga selalu
meminta TUP seolah-olah TUP adalah ”jatah” bulanan. Padahal rincian rencana
penggunaan dana yang disampaikan banyak di antaranya adalah kebutuhan yang
seharusnya dapat dibayarkan secara langsung (LS), misalnya untuk pembayaran
honorarium bulanan, pembayaran satpam, biaya telepon dan listrik. Tentu jika
demikian permintaan TUP akan ditolak oleh KPPN.
Yang lebih memprihatinkan lagi
masih banyak Satker yang terlambat mempertanggungjawabkan penggunaan TUP yang
telah diberikan dengan alasan yang tidak mendasar. Sampai batas akhir waktu
pertanggungjawaban, banyak yang belum mempertanggungjawabkan satu rupiah pun
TUP yang telah diberikan, padahal TUP dapat dipertanggungjawabkan secara
bertahap. Hal ini menunjukkan bahwa manajemen pengelolaan keuangan pada Satker
masih sangat lemah.
TUP merupakan pengeluaran
transito dan status TUP yang diberikan kepada Bendahara Pengeluaran masih
sebagai uang negara. TUP baru dicatat sebagai pengeluaran negara apabila Satker
telah menyampaikan pertanggungjawaban berupa SPM-PTUP dan KPPN telah
menerbitkan SP2D-PTUP-nya. Potensi kerugian negara akibat terlambatnya
pertanggungjawaban PTUP cukup besar, yaitu adanya idle cash yang berada di
rekening Bendahara Pengeluaran Satker sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara
maksimal oleh Bendahara Umum Negara.
Untuk menjamin kepatuhan Satker
dalam mempertanggungjawabkan TUP, saya berpendapat sebaiknya Satker yang 3 (tiga) kali berturut-turut terlambat
mempertanggungjawabkan TUP tidak dapat
lagi diberikan TUP sepanjang sisa tahun anggaran!
8.
Pengeluaran uang oleh
Bendahara Pengeluaran tidak berdasarkan Surat Perintah Bayar (SPBy) dari PPK:
Bendahara Pengeluaran bertanggung
jawab secara pribadi atas uang maupun surat berharga yang berada dalam
pengelolaannya. Oleh karena itu, apabila terjadi kerugian negara atas uang yang
dikelolanya, Bendahara Pengeluaran tidak dapat mengelak untuk sepenuhnya
bertanggung jawab. Seorang Bendahara Pengeluaran harus mengelola uang secara tertib
dan akuntabel, yaitu hanya melakukan pembayaran jika ada Surat Perintah Bayar
(SPBy) yang disetujui dan ditandatangani oleh PPK atas nama KPA. Bendahara
Pengeluaran pun wajib menolak perintah pembayaran dalam SPBy apabila tidak
memenuhi persyaratan untuk dibayarkan.
Dalam prakteknya, banyak
Bendahara Pengeluaran Satker yang melakukan pembayaran (pengeluaran uang)
meskipun tidak ada/belum ada SPBy. Apalagi bila ada ”perintah” dari petinggi
Satker, Bendahara Pengeluaran biasanya sulit untuk menolak. Hal ini tentunya
sangat riskan karena apabila penerima uang tidak dapat mempertanggungjawabkan
penggunaan UP/TUP, sepenuhnya tetap menjadi tanggung jawab Bendahara
Pengeluaran secara pribadi.
9.
Penerbitan SPM GUP dan
SPM PTUP oleh PPSPM tanpa memverifikasi bukti SSP yang telah dikonfirmasi KPPN:
Salah satu syarat lampiran SPP
GUP dan SPP PTUP dari PPK ke PPSPM adalah SSP yang telah dikonfirmasi KPPN. Seorang
PPSPM harus memverifikasi persyaratan tersebut untuk mencegah adanya kerugian
negara akibat pembayaran pajak tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Transaksi
belanja negara yang dilakukan dengan UP/TUP, pemotongan/pembayaran pajaknya
dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran dan disetor melalui bank/pos persepsi
mitra kerja KPPN. Bukti SSP yang telah divalidasi Bank/Pos Persepsi baru
diyakini kebenarannya masuk ke kas negara setelah mendapat konfirmasi dari
KPPN. Bukan hal yang tidak mungkin terjadi, seorang memalsukan SSP dengan
mengcopy kembali bukti SSP atas belanja sebelumnya yang berjumlah sama dan
melampirkannya sebagai bukti pembayaran pajak untuk belanja lainnya.
Copy SSP tidak lagi dilampirkan
pada SPM yang disampaikan ke KPPN sehingga sepenuhnya menjadi kewajiban PPSPM
untuk memverifikasi bukti-bukti SSP tersebut. Dalam prakteknya, masih ada PPSPM
yang terlalu berani menerbitkan SPM GUP maupun PTUP meskipun SSP belum
dikonfirmasi ke KPPN setempat. Hal ini tentunya sangat berpotensi menimbulkan
kerugian negara akibat tidak diterimanya
uang pajak ke rekening Kas Negara KPPN.
10.
Pemalsuan Surat Perintah Membayar (SPM):
Penerbitan SPM dilakukan melalui
sistem aplikasi yang disediakan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan,
Kementerian Keuangan. SPM tersebut juga di”injeksi” oleh PPSPM dengan Personal
Indentification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda tangan elektronik pada
Arsip data Komputer (ADK) SPM. Dalam penerbitan SPM tersebut, PPSPM bertanggung
jawab atas keamanan data pada aplikasi SPM, kebenaran SPM dan kesesuaian antara
data pada SPM dengan data pada ADK SPM dan penggunaan PIN pada ADK SPM. SPM
yang PIN-nya tidak sesuai dengan data di KPPN, secara sistem akan ditolak
Aplikasi SP2D KPPN dan tidak dapat diproses lebih lanjut.
Dalam kenyataannya, masih
terdapat risiko pemalsuan SPM. Hal ini dapat terjadi karena beberapa PPSPM yang
gaptek
dan mungkin juga ”terlalu sibuk” sehingga
menyerahkan sepenuhnya ”injeksi” PIN PPSPM kepada orang lain, misalnya staff
bawahannya. Hal ini tentunya
berpotensi menimbulkan kerugian negara apabila terjadi penyampaian SPM Palsu
yang kemudian diterbitkan SP2D-nya oleh KPPN. Oleh karena itulah, seharusnya
PPSPM tidak ”mendelegasikan” proses ”injeksi” PIN PPSPM kepada orang lain,
termasuk bawahannya, karena segala bentuk penyalahgunaan SPM adalah tanggung
jawab mutlak PPSPM. SPM Palsu, maka yang masuk penjara seharusnya dan
semestinya adalah PPSPM Satker, bukan pegawai/pejabat KPPN!
Dengan
memahami setidaknya 10 risiko di atas, diharapkan Pejabat Perbendaharaan Negara
pada Satker dapat melaksanakan anggaran negara secara lebih tertib, efisien,
efektif, transparan dan akuntabel serta dapat terhindar dari masalah hukum yang
dapat menghancurkan segalanya maupun terhindar dari temuan-temuan yang bersifat
admnistratif. Jangan sampai keinginan untuk bermegah-megahan dalam hal
keduniawian, mengumpulkan ”uang panas” dengan menjadi ”mafia pelaksanaan
anggaran” malah membawa hidup pada kesengsaraan. Jangan sampai baru menyadari
dan menyesali kesalahan setelah masuk sel penjara atau setelah maut menjemput.
Sebuah penyesalan yang tentunya sangat-sangat terlambat!