Minggu, 31 Juli 2011

PERMASALAHAN PENYERAPAN ANGGARAN (STUDI KASUS DI KPPN BANDUNG I)

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa alokasi Belanja Pemerintah diarahkan pada penciptaan kondisi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan pendapatan masyarakat dan stabilitas perekonomian yang semakin terjaga. Untuk mencapai hal teersebut seharusnya Belanja Negara yang telah tertuang dalam DIPA masing-masing Satker dapat direalisasikan secara proporsional sepanjang tahun anggaran berjalan. Akan tetapi kenyataan yang ada, penyerapan belanja berjalan lambat (khususnya belanja modal) dan biasanya menumpuk pada akhir tahun anggaran sehingga mengakibatkan dampak terhadap pertumbuhan perekonomian kurang optimal dan kualitas pekerjaan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Penumpukan tagihan pada akhir tahun anggaran tentunya juga berdampak pada beban kerja KPPN sebagai institusi tempat pencairan dana APBN semakin berat.

Di KPPN Bandung I, data sampai Semester I Tahun Anggaran 2011 menunjukkan bahwa realisasi penyerapan anggaran APBN masih sangat rendah, di bawah rata-rata realisasi secara nasional dan di bawah target yang telah ditetapkan dalam indikator kinerja utama penyerapan anggaran. Belanja Pegawai dengan pagu Rp 1,9 triliun terserap sebesar Rp 867,7 miliar (45,26%). Tingkat realisasi belanja pegawai ini sudah proporsional mengingat Belanja Pegawai merupakan pengeluaran rutin bulanan, di antaranya adalah untuk pembayaran gaji induk, uang makan, uang lembur dan pembayaran lainnya yang merupakan kompensasi kepada pegawai. Sedangkan Belanja Barang, dengan pagu Rp 3,6 triliun baru terserap sebesar Rp 853,8 miliar (23,59%). Tingkat realisasi ini tergolong masih rendah dan berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 28%. Selanjutnya yang paling rendah tingkat penyerapan anggarannya adalah untuk Belanja Modal, dari pagu Rp 1,2 triliun hanya terserap sebesar Rp 57,6 miliar (4,44%). Realisasi Belanja Modal yang baru mencapai 4,44% ini sangat jauh berada di bawah rata-rata nasional yang mencapai 18%. Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan mengingat pelaksanaan anggaran 2011 tinggal enam bulan lagi. Belanja Bantuan Sosial dengan pagu Rp 1,6 triliun baru terealisasi sebesar Rp 156,2 miliar (9,24%), juga masih di bawah rata-rata nasional yang mencapai 27%. Terakhir adalah Belanja lain-lain, dengan pagu Rp 38,2 miliar terserap sebesar Rp 14,3 miliar (37,66%). Setelah diakumulasi dari kelima klasifikasi belanja di atas, tingkat penyerapan dana di KPPN Bandung I sampai dengan Semester I Tahun Anggaran 2011 ini baru mencapai 22,76%.

Untuk mengetahui faktor penyebab rendahnya penyerapan anggaran tersebut, KPPN Bandung I telah menghimbau kepada seluruh Satker untuk mengisi kuesioner web penyerapan anggaran yang telah disiapkan oleh Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan c.q. Direktorat Pelaksanaan Anggaran. Dari hasil analisis kuesioner tersebut diketahui bahwa faktor utama penyebab rendahnya penyerapan anggaran adalah: permasalahan pengadaan barang/jasa (50,35%), perencanaan anggaran (21,99%), mekanisme pembayaran (20,92%), persiapan pelaksanaan kegiatan (6,38%) dan force majeur (0,35%). Sub kategori permasalahan pengadaan barang/jasa sebagian besar adalah faktor Panitia Pengadaan barang/jasa (47,18%). Faktor Panitia Pengadaan barang/jasa ini sebagian besar disebabkan oleh rangkap tugas dalam jabatan Panitia Pengadaan (25,37%), jumlah SDM pelaksana pengadaan yang bersertifikat kurang memadai (23,88%), keengganan untuk menjadi panitia pengadaan karena tidak seimbangnya resiko pekerjaan dengan imbalan yang diterima (20,90%), ketakutan pejabat untuk melaksanakan pengadaan akibat banyaknya berita penangkapan pejabat dengan tuduhan korupsi (17,91%) dan SDM pelaksana pengadaan kurang kompeten (11,94%).

Permasalahan perencanaan anggaran 100% responden menyatakan penganggaran sebagai penyebab utama rendahnya penyerapan anggaran. Hal ini disebabkan adanya kesalahan penentuan akun sehingga perlu revisi dokumen pelaksanaan anggaran (35,48%), anggaran kegiatan diblokir (17,74%), masa penelaahan terlalu pendek sehingga belum siap data pendukung (14,52%), penyusunan pagu anggaran terlalu rendah (9,68%), harga satuan barang/jasa yang ditetapkan dalam standar biaya terlalu rendah/tinggi (8,06%), tidak mengganggarkan administrasi pengadaan (8,06%), perencanaan kegiatan tidak sesuai dengan kebutuhan (4,84%), dan adanya penyesuaian harga karena kebijakan pemerintah (1,61%).

Permasalahan terbesar ketiga adalah mekanisme pembayaran, yang disebabkan oleh revisi dokumen pelaksanaan anggaran (54,24%), dokumen pencairan dana (28,81%) dan peraturan (16,95%). Sub masalah terbesar (revisi dokumen pelaksanaan anggaran) ini disebabkan oleh DIPA perlu direvisi karena tidak sesuai dengan kebutuhan (37,50%), proses revisi anggaran mengalami keterlambatan (25%), revisi DIPA perlu persetujuan Eselon 1 (18,75%), persetujuan revisi DIPA dari Eselon 1 terlambat diterima (12,50%) dan perubahan POK terlambat ditetapkan (6,25%).

Permasalahan penyerapan anggaran yang telah diuraikan di atas sebenarnya merupakan masalah klasik yang sudah berlangsung lama dari tahun ke tahun. Dan upaya-upaya percepatan penyerapan anggaran sebenarnya telah banyak dilakukan, akan tetapi memang belum memberikan dampak yang signifikan. Hal ini terjadi karena percepatan penyerapan anggaran tersebut sepenuhnya tergantung pada Satker selaku Kuasa Pengguna Anggaran. Berbagai kebijakan/regulasi/tindakan yang menurut saya merupakan langkah untuk percepatan penyerapan anggaran antara lain meliputi:

1. Penganggaran yg tepat & Ketepatan waktu penunjukan Pejabat Perbendaharaan

2. Penyusunan Rencana penarikan dana (cash forecasting) yang baik

3. Pemahaman terhadap ketentuan dan mekanisme pengelolaan Keuangan negara

4. Mekanisme penyelesaian pencairan dana yang cepat, tepat, transparan dan akuntabel

5. Memberikan fleksibilitas/kewenangan yang Lebih luas kepada KPA dalam melakukan revisi anggaran (PMK 49/PMK.02/2011 dan PER-22/PB/2011)

6. Membatasi waktu pencairan blokir yang diakibatkan ketidaklengkapan data pendukung (TOR/RAB) sd 30 Juni 2011

7. Memberikan kewenangan kepada KPA untuk melakukan proses pengadaan sebelum diterbitkannya DIPA (Perpres 54 Tahun 2010)

8. Menyederhanakan pelaksanaan tender melalui e-procurement dan membentuk Unit Layanan Pengadaan /ULP (Perpres 54 Tahun 2010)

9. Mengatur batas waktu penyelesaian tagihan atas beban APBN, agar tidak terjadi penundaan pembayaran kepada pihak ketiga (PMK No.170/PMK.05/2010).

10. Menaikkan nilai “pengadaan langsung” Sampai dengan nilai Rp 100 juta, dan “pelelangan sederhana” sampai nilai Rp 200 juta (Perpres 54 Tahun 2010)

11. Pengadaan kendaraan bermotor, jasa hotel Dapat dilakukan dengan “penunjukan Langsung” tanpa batasan nilai pekerjaan (Perpres 54 Tahun 2010)

12. Meningkatkan jumlah UP sampai nilai Rp 500 jt dan dapat mengajukan lagi Dispensasi UP dengan penetapan/Persetujuan Kanwil DJPBN dan/atau Dirjen Perbendaharaan (PER-11/PB/2011)

13. Menambah besaran pembayaran yang Dapat dilakukan Bendahara Pengeluaran Kepada satu rekanan menjadi Rp 20 juta (PER-11/PB/2011)

14. Mempermudah dispensasi TUP sampai Nilai Rp 500 juta cukup oleh Kepala KPPN (PER-11/PB/2011)

15. Peningkatan pelatihan SDM Satker dan Sosialisasi di bidang perencanaan, penganggaran dan pengadaan

16. Menerapkan sistem reward and punishment atas pelaksanaan anggaran (PMK No.38/PMK.02/2011)

17. Pencairan dana dapat dilakukan pejabat Perbendaharaan TA sebelumnya jika Pejabat Perbendaharaan yang baru belum ada SK Definitif (PER-57/PB/2010)

18. Meningkatkan honorarium bagi pejabat Perbendaharaan, panitia pengadaan/ULP Dan Panitia penerima barang/jasa

19. Mempercepat penyelesaian dan Pengesahan DIPA (20 Desember 2010)

20. Mempercepat proses penyelesaian Revisi DIPA