Kamis, 15 Juli 2010

PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK:SEBUAH TINJAUAN NORMATIF BERDASARKAN UU NOMOR 25 TAHUN 2009

Dari kiri ke kanan: Kasi Bank/Giro Pos, Kasi Pencairan Dana I, Kepala KPPN Jayapura, Kasi Verifikasi & Akuntansi, Kasubbag Umum


Pembicaraan atau tulisan di internal Ditjen Perbendaharaan tentang pelayanan publik yang cepat, tepat dan tanpa pungutan atau layanan prima mungkin sudah sering kita dengar. Akan tetapi, pembahasan tentang apa itu Pelayanan Publik masih sangat jarang, bahkan mungkin masih banyak di antara kita yang belum mengetahui keberadaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Hal inilah yang mendorong saya untuk sedikit membahas materi yang diatur dalam UU tersebut, khususnya yang menyangkut pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik.

***


Pelayanan publik adalah “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik” (Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 25 Tahun 2009). Berdasarkan definisi ini, maka layanan yang diberikan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan seperti pemberian Dispensasi Tambahan Uang Persediaan (TUP), penelaahan DIPA dan revisi DIPA merupakan bagian dari pelayanan publik. Begitu juga halnya dengan layanan yang diberikan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara seperti penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), Penatausahaan Penerimaan Negara (Pengesahan/Konfirmasi SSP, SSBP, SSPB dan setoran lainnya) dan penerbitan Berita Acara Rekonsiliasi Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA). Oleh karena itu, sebagai penyelenggara pelayanan publik, memiliki berbagai kewajiban sebagai berikut: menyusun dan menetapkan standar pelayanan, menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan, menempatkan pelaksana yang kompeten, menyediakan sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai, memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik, melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan, berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan, membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya serta bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan publik (Pasal 15 UU Nomor 25 Tahun 2009).

Di era reformasi dan keterbukaan saat ini, penyelenggaraan pelayanan publik tidak terlepas dari pengawasan atau kontrol, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Sesuai Pasal 35 ayat (2) dan (3) UU Nomor 25 Tahun 2009, Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: (a) pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (b) pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengawasan eksternal dilakukan melalui: (a) pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, (b) pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan (c) pengawasan oleh Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian banyak “mata” dan “telinga” yang mengawasi pelaksanaan pelayanan publik oleh penyelenggara layanan publik, termasuk aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini harus kita akui kepercayaan publik pada kinerja aparat pengawasan internal semakin rendah. Di zaman Orde Baru dulu ada istilah Pengawasan Melakat (Waskat) dalam pengawasan internal, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya malah sering diplesetkan menjadi “Wajib Setor Pada Atasan”. Oleh karena itu tidak heran semakin banyak publik (penerima layanan, asosiasi, media cetak dan elektronik serta LSM, dll) yang tidak puas dan melakukan pengawasan eksternal melalui pemberitaan, laporan dan/atau pengaduan. “Sstt..awas!! banyak yang mengawasi..Silahkan diawasi, pelayanan Direktorat Jenderal Perbendaharaan akuntabel, transparan dan tanpa biaya..anti pungli! Demikian gambaran situasi pengawasan dalam karikatur karya Hafiz Yusuf dari KPPN Muko Muko.


“Mata” dan “telinga” pengawasan oleh masyarakat dan/atau stakeholders kadang memang lebih ampuh dan mampu mempengaruhi proses pengambilan kebijakan pada penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu, tulisan ini lebih memfokuskan pengawasan eksternal oleh masyarakat. Sebagaimana diatur pada Pasal 18 UU Nomor 25 Tahun 2009, masyarakat antara lain berhak: (a) mengawasi pelaksanaan standar pelayanan, (b) mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan, (c)memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, (d) mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman, (e) mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman dan (f) mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.


Apabila masyarakat dan/atau stakeholders merasa haknya untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan tidak terpenuhi, masyarakat berhak untuk menyampaikan pengaduan, laporan dan/atau gugatan. Dalam perspektif hukum, pengaduan dilakukan terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan. Pengaduan tersebut disampaikan kepada penyelenggara, ombudsman dan/atau DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan laporan adalah tindakan hukum yang dilakukan masyarakat apabila penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan disampaikan kepada aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaaan dan/atau KPK). Selanjutnya gugatan merupakan tuntutan hukum yang disampaikan oleh masyarakat kepada penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik melalui Peradilan Tata Usaha Negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang Tata Usaha Negara dan/atau melalui Pengadilan Negeri dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum (aspek perdata) dalam penyelenggaraan pelayanan publik.


Masyarakat (seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung) yang melakukan pengaduan dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan. Sesuai Pasal 42 UU Nomor 25 Tahun 2009, pengaduan diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa mewakilinya dan disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan. Pengaduan disampaikan secara tertulis memuat: nama dan alamat lengkap (dalam keadaan tertentu dapat dirahasiakan), uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan dan uraian kerugian materiel atau immaterial yang diderita, permintaan penyelesaian yang diajukan (dapat memasukkan tuntutan ganti rugi), tempat, waktu penyampaian dan tanda tangan. Pengaduan tersebut disertai dengan bukti-bukti sebagai pendukung pengaduannya.


Penyelenggara pelayanan publik wajib menerima, merespon dan memeriksa pengaduan dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang diselenggarakannya. Pemeriksaan tersebut wajib berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasi, tidak memihak dan tidak memungut biaya. Bahan refleksi kita, sudah siapkan Ditjen Perbendaharaan, khususnya Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dalam pengelolaan pengaduan dan penyelesaian pengaduan sesuai UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik??