Jumat, 17 September 2010

SULITNYA MEMBANGUN RUMAH IBADAT DI NEGARA YANG BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


Berpose di depan sebuah Kapela di Larantuka-Flores Timur

Tulisan ini saya buat untuk menggugah kita semua agar selalu mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan toleransi antar umat beragama. Umat Mayoritas maupun Minoritas memiliki hak dan kewajiban yang sama di negara ini. Untuk itu, segala bentuk tindakan intoleran dan anarkisme harus kita tolak dan kita kutuk...



Sudah sangat jamak terjadi di negeri ini peristiwa di mana umat beragama minoritas sangat sulit untuk membangun rumah ibadat. Bahkan ada peristiwa rumah ibadat yang telah memperoleh IMB pun kemudian dibatalkan kembali oleh Bupati/Walikota akibat tekanan sekelompok massa yang intoleran. Sungguh ironis, di Negara tercinta yang memproklamirkan diri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini justru pendirian rumah-rumah ibadat begitu sulit. Dengan berbagai alasan, pejabat yang berwenang “enggan” mengeluarkan rekomendasi/izin hingga bertahun-tahun. Alasan para pejabat berwenang menolak mengeluarkan rekomendasi tertulis/izin biasanya adalah untuk “menjaga kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban umum”. Konon katanya kalau rekomendasi pendirian rumah ibadat umat minoritas dikeluarkan, maka kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di wilayah bersangkutan tidak akan kondusif! Sangat mengherankan kalau pembangunan rumah ibadat dinyatakan dapat mengganggu kamtibmas. Sekiranya semua agama memang benar mengajarkan doktrin cinta kasih, saling menghormati dan menghargai, damai serta anti kekerasan, maka berdirinya rumah ibadat bukanlah ancaman, melainkan justru amat baik karena perdamaian akan kian tersebar di muka bumi. Kecuali kalau agama memang diposisikan sebagai penebar kekerasan sehingga perlu ada pengetatan terhadap gerak langkah umat beragama.

Salah satu kelemahan yang sangat fatal dalam Perber Mendagri dan Menag No.9 Tahun 2006/No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat adalah tidak adanya pasal yang mengatur dalam hal apa saja rekomendasi pendirian rumah ibadat oleh Kakandepag (dan juga Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB) harus dikabulkan dan dalam hal apa saja rekomendasi pendirian rumah ibadat dapat ditolak. Akibatnya Kakandepag dan FKUB bisa memutuskan berdasarkan “penafsirannya” sendiri. Jika sudah berdasarkan “penafsiran” sendiri, Kakandepag dan FKUB bisa bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya. Apalagi fakta selama ini menunjukkan bahwa agama mayoritaslah yang banyak mengambil peran tentang perlu atau tidaknya mendirikan sebuah rumah ibadat bagi umat agama minoritas. Jika kelompok agama mayoritas sudah berkata “Pokoknya tidak!”, maka sangat sulit bagi agama minoritas untuk mendirikan rumah ibadat walaupun hal itu didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan.

Perber yang bagi sebagian orang disambut dengan antusias, menurut saya justru gagal mengusung dan menguatkan semangat toleransi, bahkan sebaliknya menguatkan semangat intoleransi. Keharusan mendapatkan dukungan/persetujuan dari minimal 60 orang masyarakat sekitar yang disahkan oleh lurah/kepala desa dan syarat adanya rekomendasi FKUB, merupakan rebirokratisasi dan repolitisasi pendirian rumah ibadat yang amat rumit serta rawan manipulasi dan konflik. Adalah hal yang sangat sulit bagi agama minoritas mendapatkan dukungan masyarakat sekitar jika semangat toleransi dan kesadaran akan pluralisme bangsa ini belum sepenuhnya diamalkan masyarakat kita. Apalagi jika ada ormas tertentu dari umat mayoritas yang menentang pendirian rumah ibadat umat minoritas, pastilah masyarakat sekitar tidak akan berani memberikan dukungan pendirian rumah ibadat umat minoritas tersebut. Tidak heran akhirnya mendirikan rumah ibadat menjadi sangat sulit jika dibandingkan mendirikan Panti Pijat, Night Club, atau Lokalisasi Judi dan Pelacuran. Ironis sekali!

Alasan para pejabat berwenang menolak memberikan rekomendasi demi “keamanan dan ketertiban masyarakat” sungguh alasan yang tidak berdasarkan hukum. Sepanjang keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama memenuhi persyaratan, sebenarnya tidak ada alasan hukum para pejabat negeri ini menolak memberikan rekomendasi/izin. Jika rekomendasi/izin itu nantinya ditentang oleh fihak-fihak tertentu dan menyebabkan gangguan kamtibmas, maka tindakan fihak-fihak tertentu yang intoleran dan anarkis tersebutlah yang harus ditindak tegas, bukan malah menolak dan/atau membatalkan memberikan rekomendasi/izin pendirian rumah ibadat. Apalagi sekarang pemerintahan SBY berjanji akan menindak tegas ormas-ormas yang anarkis. Negara tentunya tidak boleh kalah oleh pelaku-pelaku intoleran dan anarkis. Sungguh memalukan apabila Pejabat negara ini takut dan tunduk kepada sekelompok masyarakat yang mengancam melakukan perbuatan melawan hukum. Apa jadinya Negara ini kalau Pejabat selalu tunduk kepada ormas tertentu atau kelompok masyarakat lainnya yang intoleran dan anarkis.

Sulitnya membangun rumah ibadat di negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini membawa akibat juga pada sulitnya umat minoritas untuk beribadah secara tenang dan nyaman. Kasus terbaru yang menimpa jemaat Gereja HKBP di Bekasi membuktikan hal itu. Beribadah di rumah yang bukan rumah ibadat disegel/ditutup oleh pemerintah, beribadah di lahan milik sendiri diserang oleh sekelompok massa, lalu mengajukan izin pendirian rumah ibadat juga selama bertahun-tahun tidak diberikan tanpa alasan yang berdasarkan hukum. Sungguh memilukan tragedi ini terjadi di negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa!


Tindakan dan ancaman sekelompok massa yang mengatasnamakan agama tertentu menutup, menyegel, dan melakukan intimidasi bahkan penyerangan fisik terhadap kelompok agama lainnya dalam menjalankan ibadahnya, jelas merupakan tindakan yang sangat memprihatinkan kita semua. Mereka dengan sewenang-wenang bertindak main hakim sendiri seolah-olah mereka adalah aparat hukum. Perbuatan tersebut jelas adalah perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Dan yang sangat kita sesalkan, aparat pemerintah dan aparat hukum sendiri kadang-kadang tidak bertindak tegas, malah menurut istilah Prof. JE Sahetapi dalam tulisannya di Sinar Harapan Tanggal 10 Mei 2006 hanya “menonton”. Dalam banyak kasus, aparat malah memerintahkan umat minoritas untuk membatalkan ibadah, bukannya memberikan perlindungan dan menghadapi massa yang mengancam melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia. Saya teringat akan homili Romo Monald-Pastor Paroki Santa Clara Bekasi Utara- dalam misa Jumat Agung Tahun 2006 empat tahun yang lalu berkata: “Berdoa, berdoa saja sulit di Negara ini. Berbuat baik, ternyata tidak ada tempat. Ternyata umat saya bukan diperhitungkan di Negara kami tercinta ini”. Kala itu memang rencana umat Katolik Paroki Santa Clara Bekasi Utara untuk menggelar Misa Jumat Agung di lahan milik Paroki terpaksa dibatalkan karena adanya ancaman demo sekelompok massa yang intoleran. Misa akhirnya dipindahkan ke tempat lain dengan menyewa sebuah gedung di Bekasi Utara.

Prof.JE Sahetapi dalam tulisannya di Sinar Harapan Tanggal 10 Mei 2006 empat tahun yang lalu mengatakan Negara ini sebagai “Republik Tempe”. Mengapa? Salah satu alasannya beliau menulis: "Penduduk Negara ini mengaku dengan bangga bahwa mereka adalah bangsa yang religius. Tetapi kenyataannya sangat menyedihkan. Seolah-olah mendapat mandat langsung dari Tuhan Allah, mereka mengobrak-abrik rumah-rumah ibadah…”.


Tindakan-tindakan kelompok tertentu yang melakukan ancaman penutupan dan penyegelan rumah ibadat secara normatif bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1.
Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 Amandemen Ke-2: “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”.
2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
3.
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 22 dan Pasal 30:

Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999:

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.


Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999:


“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.


Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 171 pun telah menentukan ancaman hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan kepada orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan merintangi pertemuan agama umum yang diizinkan atau upacara agama yang diizinkan. Pasal 176 KUHP juga dapat digunakan untuk menjerat barangsiapa yang dengan sengaja mengganggu dengan mengadakan huru-hara atau suara gaduh pertemuan agama umum yang diizinkan atau upacara agama yang diizinkan, dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya satu bulan dua minggu. Apabila sampai terjadi sekelompok massa yang melakukan penutupan paksa rumah ibadat melakukan kekerasan di muka umum terhadap orang atau barang, dapat dipidana penjara 5 – 12 tahun penjara (KUHP Pasal 170). Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 40 mengancam hukuman penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat 10 tahun atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

Ketentuan-ketentuan hukum di atas sudah cukup kuat untuk melindungi kebebasan penduduk NKRI ini untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing, bebas dari ancaman dan gangguan dari pihak manapun. Sayangnya penegakan hukum di Negara kita ini masih sangat lemah. Pejabat pemerintah mulai dari Lurah, Camat bahkan Walikota terkesan kurang mampu memelihara kerukunan umat beragama di wilayahnya, hanya karena tekanan sekelompok massa. Polisi atau aparat penegak hukum lainnya kadang kurang tegas melihat tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok massa pemuja kekerasan yang berjubah agama, padahal ada ketentuan dalam KUHP yang dapat menjerat pelaku.


Beragama dan beribadah tidak boleh dibatasi alasan apa pun dan tidak memerlukan izin. Oleh karena itu sungguh menyedihkan masih ada sekelompok orang yang memaksakan kehendak, dengan semena-mena membubarkan peribadatan atau menyegel rumah ibadat kelompok agama lain karena alasan belum memiliki izin. Harusnya dipahami bahwa masalah pendirian rumah ibadat dengan peribadatan adalah dua hal yang berbeda. Pendirian rumah ibadat memang memerlukan syarat-syarat tertentu dan harus ada izin dari pejabat yang berwenang. Sedangkan peribadatan adalah hak asasi manusia yang tidak memerlukan izin.
Rumah Ibadat yang belum atau tidak memiliki IMB dari Bupati/Walikota memang melanggar ketentuan Hukum Administrasi Negara, akan tetapi beribadah di tempat tersebut bukanlah tindak pidana atau perbuatan kriminal. Apalagi fakta menunjukkan kebanyakan justru pemerintahlah yang tidak berkenan untuk memberikan izin. Tindak kriminal justru adalah perbuatan menutup paksa rumah ibadat secara melawan hukum. Terhadap rumah ibadat yang belum/tidak memiliki IMB Rumah Ibadat, tidak lantas begitu saja bisa ditutup, apalagi oleh sekelompok massa yang bukan aparat penegak hukum. Bahkan Pasal 28 ayat (3) Peraturan Bersama Menag dan Mendagri justru mengatur agar Bupati/Walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB rumah ibadat, dalam hal bangunan gedung rumah ibadat tersebut telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah. Dan Pasal 14 ayat (3) mengamanatkan pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah Ibadat dalam hal belum terpenuhinya syarat dukungan minimal 60 orang masyarakat sekitar pembangunan rumah ibadat.

Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Untuk itu, pemerintah hendaknya bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang intoleran dan anarkis.
Seyogianya kita sebagai bangsa yang katanya beradab tidak melakukan tindakan yang menodai kerukunan umat beragama. Alangkah indahnya jika sesama umat beragama menjalin hubungan yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama dan bekerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

6 komentar:

  1. thousand thumbs up buat bapak!!!

    BalasHapus
  2. Sebenarx banyak orang di Indonesia perlu membaca tulisan bapak ini agar ada pencerahan intelektual untuk mengubah mainset pikir mayoritas. krn Bencana akan terus melanda Indonesia jika belum disadari...
    sudah banyak contoh, namun mungkin keangkuhan Mayoritas membuat mereka menutup kuping dan mata mereka.
    saking angkuhnya...
    mereka soroti aturan di Italia yang sedikit menekan minoritas dalam masa puasa kemarin..
    juga meminta Obama untuk membijaki pembangunan rumah ibadah mereka di Amerika yang sudah ditunda bertahun2.
    tragis juga kondisi dan mainset Mayoritas di Negara yang berslogan Ketuhanan Yang Maha Esa ini...
    sedih...

    BalasHapus
  3. aku juga sedih,mengapa minoritas tidak pernah menyadari apa yg ia katakan ini....
    indonesia ia katakan sedemikian kejam...sementara kaum minoritas lebih dari kesadisannya....
    kalian telah tw gimana umat kami di itali dan di amerika di perlakukan,yg besar ini,tapi kamu bilang sedikit,malah permasalahan rumah ibadah itu yg kecil malah kamu besar2_i tidak tau malu dan egois....bercermin dari sikap dan toleran kalian...apa umat2 kalian di seluruh dunia udah lebih baik,maka bercerminlah,malah umat2 kalian yg sangat kejam,jgn tutup mata,jgn hanya melihat di sekitarnya,buka mata mu lebar2 untuk melihat dunia,umat kalian yg kejam di rasukin setan,aku telah mempelajari agama kalian yg baik,tapi sikap dan prilaku kalian buruk jgn salahkan agama ok....

    BalasHapus
  4. Indonesia hanya bisa bergaya dengan "slogan" Pancasila dg sila pertamanya Ketuhanan yang Maha Esa, tapi orang-orang yang mengaku dirinya bertuhan itu ternyata jauh dari Tuhan, kelakuan, pikiran dan kata-katanya sangat buruk dari mereka yang dikenal "tidak bertuhan" (ateis), Indonesia, sungguh ironis dikau.....................

    BalasHapus
  5. Jangan asal bicara toleransi...sepihak..coba deh, liat di negara2 yang mayoritas nasrani...islam minor, kalian bantai bukan,di indonesia sih mending boss...cuma dilarang mendirikan rumah ibadah...orang islam dibantai di myanmar..HAM DUNIA diam, Orang islam dibantai di AFSEL HAM DUNIA diam seribu basa....

    BalasHapus
  6. saya sependapat dengan Cinta Rosul....

    BalasHapus