Jumat, 17 September 2010

SULITNYA MEMBANGUN RUMAH IBADAT DI NEGARA YANG BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


Berpose di depan sebuah Kapela di Larantuka-Flores Timur

Tulisan ini saya buat untuk menggugah kita semua agar selalu mengembangkan sikap saling hormat-menghormati dan toleransi antar umat beragama. Umat Mayoritas maupun Minoritas memiliki hak dan kewajiban yang sama di negara ini. Untuk itu, segala bentuk tindakan intoleran dan anarkisme harus kita tolak dan kita kutuk...



Sudah sangat jamak terjadi di negeri ini peristiwa di mana umat beragama minoritas sangat sulit untuk membangun rumah ibadat. Bahkan ada peristiwa rumah ibadat yang telah memperoleh IMB pun kemudian dibatalkan kembali oleh Bupati/Walikota akibat tekanan sekelompok massa yang intoleran. Sungguh ironis, di Negara tercinta yang memproklamirkan diri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini justru pendirian rumah-rumah ibadat begitu sulit. Dengan berbagai alasan, pejabat yang berwenang “enggan” mengeluarkan rekomendasi/izin hingga bertahun-tahun. Alasan para pejabat berwenang menolak mengeluarkan rekomendasi tertulis/izin biasanya adalah untuk “menjaga kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban umum”. Konon katanya kalau rekomendasi pendirian rumah ibadat umat minoritas dikeluarkan, maka kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) di wilayah bersangkutan tidak akan kondusif! Sangat mengherankan kalau pembangunan rumah ibadat dinyatakan dapat mengganggu kamtibmas. Sekiranya semua agama memang benar mengajarkan doktrin cinta kasih, saling menghormati dan menghargai, damai serta anti kekerasan, maka berdirinya rumah ibadat bukanlah ancaman, melainkan justru amat baik karena perdamaian akan kian tersebar di muka bumi. Kecuali kalau agama memang diposisikan sebagai penebar kekerasan sehingga perlu ada pengetatan terhadap gerak langkah umat beragama.

Salah satu kelemahan yang sangat fatal dalam Perber Mendagri dan Menag No.9 Tahun 2006/No.8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat adalah tidak adanya pasal yang mengatur dalam hal apa saja rekomendasi pendirian rumah ibadat oleh Kakandepag (dan juga Forum Kerukunan Umat Beragama/FKUB) harus dikabulkan dan dalam hal apa saja rekomendasi pendirian rumah ibadat dapat ditolak. Akibatnya Kakandepag dan FKUB bisa memutuskan berdasarkan “penafsirannya” sendiri. Jika sudah berdasarkan “penafsiran” sendiri, Kakandepag dan FKUB bisa bertindak sewenang-wenang dan menyalahgunakan wewenang yang ada padanya. Apalagi fakta selama ini menunjukkan bahwa agama mayoritaslah yang banyak mengambil peran tentang perlu atau tidaknya mendirikan sebuah rumah ibadat bagi umat agama minoritas. Jika kelompok agama mayoritas sudah berkata “Pokoknya tidak!”, maka sangat sulit bagi agama minoritas untuk mendirikan rumah ibadat walaupun hal itu didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan.

Perber yang bagi sebagian orang disambut dengan antusias, menurut saya justru gagal mengusung dan menguatkan semangat toleransi, bahkan sebaliknya menguatkan semangat intoleransi. Keharusan mendapatkan dukungan/persetujuan dari minimal 60 orang masyarakat sekitar yang disahkan oleh lurah/kepala desa dan syarat adanya rekomendasi FKUB, merupakan rebirokratisasi dan repolitisasi pendirian rumah ibadat yang amat rumit serta rawan manipulasi dan konflik. Adalah hal yang sangat sulit bagi agama minoritas mendapatkan dukungan masyarakat sekitar jika semangat toleransi dan kesadaran akan pluralisme bangsa ini belum sepenuhnya diamalkan masyarakat kita. Apalagi jika ada ormas tertentu dari umat mayoritas yang menentang pendirian rumah ibadat umat minoritas, pastilah masyarakat sekitar tidak akan berani memberikan dukungan pendirian rumah ibadat umat minoritas tersebut. Tidak heran akhirnya mendirikan rumah ibadat menjadi sangat sulit jika dibandingkan mendirikan Panti Pijat, Night Club, atau Lokalisasi Judi dan Pelacuran. Ironis sekali!

Alasan para pejabat berwenang menolak memberikan rekomendasi demi “keamanan dan ketertiban masyarakat” sungguh alasan yang tidak berdasarkan hukum. Sepanjang keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama memenuhi persyaratan, sebenarnya tidak ada alasan hukum para pejabat negeri ini menolak memberikan rekomendasi/izin. Jika rekomendasi/izin itu nantinya ditentang oleh fihak-fihak tertentu dan menyebabkan gangguan kamtibmas, maka tindakan fihak-fihak tertentu yang intoleran dan anarkis tersebutlah yang harus ditindak tegas, bukan malah menolak dan/atau membatalkan memberikan rekomendasi/izin pendirian rumah ibadat. Apalagi sekarang pemerintahan SBY berjanji akan menindak tegas ormas-ormas yang anarkis. Negara tentunya tidak boleh kalah oleh pelaku-pelaku intoleran dan anarkis. Sungguh memalukan apabila Pejabat negara ini takut dan tunduk kepada sekelompok masyarakat yang mengancam melakukan perbuatan melawan hukum. Apa jadinya Negara ini kalau Pejabat selalu tunduk kepada ormas tertentu atau kelompok masyarakat lainnya yang intoleran dan anarkis.

Sulitnya membangun rumah ibadat di negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ini membawa akibat juga pada sulitnya umat minoritas untuk beribadah secara tenang dan nyaman. Kasus terbaru yang menimpa jemaat Gereja HKBP di Bekasi membuktikan hal itu. Beribadah di rumah yang bukan rumah ibadat disegel/ditutup oleh pemerintah, beribadah di lahan milik sendiri diserang oleh sekelompok massa, lalu mengajukan izin pendirian rumah ibadat juga selama bertahun-tahun tidak diberikan tanpa alasan yang berdasarkan hukum. Sungguh memilukan tragedi ini terjadi di negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa!


Tindakan dan ancaman sekelompok massa yang mengatasnamakan agama tertentu menutup, menyegel, dan melakukan intimidasi bahkan penyerangan fisik terhadap kelompok agama lainnya dalam menjalankan ibadahnya, jelas merupakan tindakan yang sangat memprihatinkan kita semua. Mereka dengan sewenang-wenang bertindak main hakim sendiri seolah-olah mereka adalah aparat hukum. Perbuatan tersebut jelas adalah perbuatan melawan hukum dan bertentangan dengan hak asasi manusia. Dan yang sangat kita sesalkan, aparat pemerintah dan aparat hukum sendiri kadang-kadang tidak bertindak tegas, malah menurut istilah Prof. JE Sahetapi dalam tulisannya di Sinar Harapan Tanggal 10 Mei 2006 hanya “menonton”. Dalam banyak kasus, aparat malah memerintahkan umat minoritas untuk membatalkan ibadah, bukannya memberikan perlindungan dan menghadapi massa yang mengancam melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar Hak Asasi Manusia. Saya teringat akan homili Romo Monald-Pastor Paroki Santa Clara Bekasi Utara- dalam misa Jumat Agung Tahun 2006 empat tahun yang lalu berkata: “Berdoa, berdoa saja sulit di Negara ini. Berbuat baik, ternyata tidak ada tempat. Ternyata umat saya bukan diperhitungkan di Negara kami tercinta ini”. Kala itu memang rencana umat Katolik Paroki Santa Clara Bekasi Utara untuk menggelar Misa Jumat Agung di lahan milik Paroki terpaksa dibatalkan karena adanya ancaman demo sekelompok massa yang intoleran. Misa akhirnya dipindahkan ke tempat lain dengan menyewa sebuah gedung di Bekasi Utara.

Prof.JE Sahetapi dalam tulisannya di Sinar Harapan Tanggal 10 Mei 2006 empat tahun yang lalu mengatakan Negara ini sebagai “Republik Tempe”. Mengapa? Salah satu alasannya beliau menulis: "Penduduk Negara ini mengaku dengan bangga bahwa mereka adalah bangsa yang religius. Tetapi kenyataannya sangat menyedihkan. Seolah-olah mendapat mandat langsung dari Tuhan Allah, mereka mengobrak-abrik rumah-rumah ibadah…”.


Tindakan-tindakan kelompok tertentu yang melakukan ancaman penutupan dan penyegelan rumah ibadat secara normatif bertentangan dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

1.
Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 Amandemen Ke-2: “ Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya…”.
2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
3.
UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 22 dan Pasal 30:

Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999:

1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.


Pasal 30 UU Nomor 39 Tahun 1999:


“Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu”.


Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 171 pun telah menentukan ancaman hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan kepada orang yang dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan merintangi pertemuan agama umum yang diizinkan atau upacara agama yang diizinkan. Pasal 176 KUHP juga dapat digunakan untuk menjerat barangsiapa yang dengan sengaja mengganggu dengan mengadakan huru-hara atau suara gaduh pertemuan agama umum yang diizinkan atau upacara agama yang diizinkan, dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya satu bulan dua minggu. Apabila sampai terjadi sekelompok massa yang melakukan penutupan paksa rumah ibadat melakukan kekerasan di muka umum terhadap orang atau barang, dapat dipidana penjara 5 – 12 tahun penjara (KUHP Pasal 170). Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 40 mengancam hukuman penjara paling lama 20 tahun dan paling singkat 10 tahun atas kejahatan terhadap kemanusiaan berupa penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional.

Ketentuan-ketentuan hukum di atas sudah cukup kuat untuk melindungi kebebasan penduduk NKRI ini untuk beribadah sesuai dengan agamanya masing-masing, bebas dari ancaman dan gangguan dari pihak manapun. Sayangnya penegakan hukum di Negara kita ini masih sangat lemah. Pejabat pemerintah mulai dari Lurah, Camat bahkan Walikota terkesan kurang mampu memelihara kerukunan umat beragama di wilayahnya, hanya karena tekanan sekelompok massa. Polisi atau aparat penegak hukum lainnya kadang kurang tegas melihat tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok massa pemuja kekerasan yang berjubah agama, padahal ada ketentuan dalam KUHP yang dapat menjerat pelaku.


Beragama dan beribadah tidak boleh dibatasi alasan apa pun dan tidak memerlukan izin. Oleh karena itu sungguh menyedihkan masih ada sekelompok orang yang memaksakan kehendak, dengan semena-mena membubarkan peribadatan atau menyegel rumah ibadat kelompok agama lain karena alasan belum memiliki izin. Harusnya dipahami bahwa masalah pendirian rumah ibadat dengan peribadatan adalah dua hal yang berbeda. Pendirian rumah ibadat memang memerlukan syarat-syarat tertentu dan harus ada izin dari pejabat yang berwenang. Sedangkan peribadatan adalah hak asasi manusia yang tidak memerlukan izin.
Rumah Ibadat yang belum atau tidak memiliki IMB dari Bupati/Walikota memang melanggar ketentuan Hukum Administrasi Negara, akan tetapi beribadah di tempat tersebut bukanlah tindak pidana atau perbuatan kriminal. Apalagi fakta menunjukkan kebanyakan justru pemerintahlah yang tidak berkenan untuk memberikan izin. Tindak kriminal justru adalah perbuatan menutup paksa rumah ibadat secara melawan hukum. Terhadap rumah ibadat yang belum/tidak memiliki IMB Rumah Ibadat, tidak lantas begitu saja bisa ditutup, apalagi oleh sekelompok massa yang bukan aparat penegak hukum. Bahkan Pasal 28 ayat (3) Peraturan Bersama Menag dan Mendagri justru mengatur agar Bupati/Walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB rumah ibadat, dalam hal bangunan gedung rumah ibadat tersebut telah digunakan secara permanen dan/atau memiliki nilai sejarah. Dan Pasal 14 ayat (3) mengamanatkan pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah Ibadat dalam hal belum terpenuhinya syarat dukungan minimal 60 orang masyarakat sekitar pembangunan rumah ibadat.

Pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan atau menodai agama, serta tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum. Untuk itu, pemerintah hendaknya bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang intoleran dan anarkis.
Seyogianya kita sebagai bangsa yang katanya beradab tidak melakukan tindakan yang menodai kerukunan umat beragama. Alangkah indahnya jika sesama umat beragama menjalin hubungan yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agama dan bekerja sama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Selasa, 31 Agustus 2010

Service Excellence: Bekerja Untuk Mewujudkan Pelayanan Pelanggan Berkualitas Prima di KPPN Jayapura


Sesuai dengan namanya sebagai Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), maka KPPN adalah sebuah institusi yang memberikan pelayanan. Kompetisi di bidang pelayanan semakin hari semakin ketat. KPPN Non Percontohan saat ini terus berlomba-lomba untuk menerapkan Standard Operating Procedure (SOP) KPPN Percontohan. Bukan tidak mungkin semangat pegawai KPPN Percontohan semakin hari mulai menurun, sementara semangat pegawai di KPPN Non Percontohan justru sedang menggebu-gebu dalam memberikan layanan yang terbaik. Bukan tidak mungkin pula pelayanan yang diberikan KPPN Non Percontohan ternyata lebih baik dari pelayanan KPPN Percontohan. Hal ini menyadarkan kita sebagai pegawai KPPN Percontohan untuk lebih proaktif membangun kekuatan internal organisasi untuk bisa menjadi lebih dinamis dan lebih bergairah melayani kebutuhan pelanggan.
Layanan pelanggan bukan sekedar pekerjaan rutin yang monoton. Jangan sampai kita bersikap ”mentang-mentang” karena tahu pelanggan kita tidak akan lari kemana-mana. Sebenarnya bisa saja pelanggan kita ingin “pindah”, tapi karena pelayanan kita sifatnya monopoli, tidak ada tempat lain untuk pencairan dana APBN selain KPPN, membuat pelanggan kita kembali lagi walaupun dengan hati yang dongkol dan kecewa. Kalau saja ada “KPPN Swasta” seperti halnya Sekolah Swasta dan Rumah Sakit Swasta, mungkin pelanggan “KPPN Negeri” sudah banyak yang pindah! “KPPN Negeri” pun sepi, pelanggan lebih senang ke “KPPN Swasta” yang memberikan pelayanan menyenangkan dan excellence.


KPPN Jayapura adalah KPPN Percontohan. Sebagai KPPN Percontohan tentu saja kualitas SDM yang ada telah melalui proses assessment yang ketat. Dari sisi integritas sudah tidak diragukan lagi, akan tetapi dari sisi layanan prima kepada pelanggan harus kita akui masih banyak yang perlu ditingkatkan. Beberapa hal yang masih harus ditingkatkan tersebut misalnya: sikap petugas front office/customer service dalam melayani pelanggan (Satuan Kerja/Satker dan stakeholders lainnya), ketepatan dan kecepatan dalam penyelesaian SP2D dan output KPPN lainnya, kedisiplinan pegawai serta penampilan pegawai yang masih belum “standar”. Sudah sepantasnya apabila pegawai KPPN Percontohan berpakaian yang rapi dan pantas serta tidak mengenakan sandal dalam bertugas.


Layanan pelanggan merupakan wujud kerja sama tim di dalam upaya menumbuhkan citra yang baik. Untuk itu, Kepala Kantor, Kepala Subbagian/Kepala Seksi dan segenap pegawai secara total dan utuh harus saling berempati dan menyatu dalam semangat untuk memberikan pelayanan yang terbaik. Saya memberi motto pelayanan terbaik yang harus diberikan KPPN Jayapura adalah Jujur, Amanah, loYal, Adil, Profesional, edUkatif, Ramah dan Akuntabel (JAYAPURA). Motto tersebut jika diimplementasikan sejalan dengan Pasal 34 UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang menyatakan pelaksana dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sebagai berikut:


a. adil dan tidak diskriminatif;
b. cermat;
c. santun dan ramah;
d. tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut;
e. profesional;
f. tidak mempersulit;
g. patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar;
h. menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara;
i. tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j. terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan;
k. tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik;
l. tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat;
m. tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki;
n. sesuai dengan kepantasan; dan
o. tidak menyimpang dari prosedur.


Untuk mencapai hal itu, perlu “mendidik” setiap orang dari semua lini di KPPN untuk cerdas melayani pelanggan yang berkualitas tinggi. Artinya, tidaklah cukup sekedar mendidik dan melatih para petugas front office/customer service saja, tapi juga harus mendidik semua pegawai. Sebab, pelayanan berkualitas tinggi sangat tergantung dari komitmen middle office dan back office untuk mendukung front office dalam memberikan pelayanan pelanggan berkualitas prima.


Dengan pertimbangan hal di atas, maka sangatlah tepat pelatihan Service Excellence yang dilaksanakan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Papua pada tanggal 5 – 6 Agustus 2010 yang lalu yang melibatkan seluruh pegawai Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Papua, utusan KPPN se Papua dan Papua Barat dan khususnya KPPN Jayapura. Sayangnya pelatihan tersebut dilaksanakan pada hari kerja sehingga tidak semua pegawai KPPN Jayapura dapat mengikuti pelatihan tersebut secara penuh karena pelayanan di kantor tetap harus berjalan. Namun terlepas dari hal itu, pelatihan tersebut sangat bermanfaat, di antaranya adalah:


a. Meningkatkan kesadaran peserta untuk melakukan pelayanan pelanggan berkualitas tinggi secara professional.

b. Menjadikan peserta sebagai pribadi bermental positif, yang senang membina pelanggan untuk menjadi loyal.

c. Membangun semangat berkontribusi peserta untuk membangun standard service excellence yang berkualitas tinggi.

d. Membangun semangat, attitude, dan ethic pribadi peserta untuk proaktif membangun pelayanan berkualiatas tinggi.

e. Membangun kecerdasan emosi peserta dalam meningkatkan mutu pelayanan pelanggan yang tinggi.

f. Memotivasi peserta agar selalu peduli pada tingkat kepuasan pelanggan.

Kamis, 15 Juli 2010

PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PELAYANAN PUBLIK:SEBUAH TINJAUAN NORMATIF BERDASARKAN UU NOMOR 25 TAHUN 2009

Dari kiri ke kanan: Kasi Bank/Giro Pos, Kasi Pencairan Dana I, Kepala KPPN Jayapura, Kasi Verifikasi & Akuntansi, Kasubbag Umum


Pembicaraan atau tulisan di internal Ditjen Perbendaharaan tentang pelayanan publik yang cepat, tepat dan tanpa pungutan atau layanan prima mungkin sudah sering kita dengar. Akan tetapi, pembahasan tentang apa itu Pelayanan Publik masih sangat jarang, bahkan mungkin masih banyak di antara kita yang belum mengetahui keberadaan UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Hal inilah yang mendorong saya untuk sedikit membahas materi yang diatur dalam UU tersebut, khususnya yang menyangkut pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik.

***


Pelayanan publik adalah “kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik” (Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 25 Tahun 2009). Berdasarkan definisi ini, maka layanan yang diberikan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan seperti pemberian Dispensasi Tambahan Uang Persediaan (TUP), penelaahan DIPA dan revisi DIPA merupakan bagian dari pelayanan publik. Begitu juga halnya dengan layanan yang diberikan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara seperti penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), Penatausahaan Penerimaan Negara (Pengesahan/Konfirmasi SSP, SSBP, SSPB dan setoran lainnya) dan penerbitan Berita Acara Rekonsiliasi Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA). Oleh karena itu, sebagai penyelenggara pelayanan publik, memiliki berbagai kewajiban sebagai berikut: menyusun dan menetapkan standar pelayanan, menyusun, menetapkan dan memublikasikan maklumat pelayanan, menempatkan pelaksana yang kompeten, menyediakan sarana, prasarana dan/atau fasilitas pelayanan publik yang mendukung terciptanya iklim pelayanan yang memadai, memberikan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan publik, melaksanakan pelayanan sesuai dengan standar pelayanan, berpartisipasi aktif dan mematuhi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik, memberikan pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diselenggarakan, membantu masyarakat dalam memahami hak dan tanggung jawabnya serta bertanggung jawab dalam pengelolaan organisasi penyelenggara pelayanan publik (Pasal 15 UU Nomor 25 Tahun 2009).

Di era reformasi dan keterbukaan saat ini, penyelenggaraan pelayanan publik tidak terlepas dari pengawasan atau kontrol, baik pengawasan internal maupun pengawasan eksternal. Sesuai Pasal 35 ayat (2) dan (3) UU Nomor 25 Tahun 2009, Pengawasan internal penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan melalui: (a) pengawasan oleh atasan langsung sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan (b) pengawasan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pengawasan eksternal dilakukan melalui: (a) pengawasan oleh masyarakat berupa laporan atau pengaduan masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik, (b) pengawasan oleh ombudsman sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan (c) pengawasan oleh Dewan perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. Dengan demikian banyak “mata” dan “telinga” yang mengawasi pelaksanaan pelayanan publik oleh penyelenggara layanan publik, termasuk aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saat ini harus kita akui kepercayaan publik pada kinerja aparat pengawasan internal semakin rendah. Di zaman Orde Baru dulu ada istilah Pengawasan Melakat (Waskat) dalam pengawasan internal, akan tetapi dalam praktek pelaksanaannya malah sering diplesetkan menjadi “Wajib Setor Pada Atasan”. Oleh karena itu tidak heran semakin banyak publik (penerima layanan, asosiasi, media cetak dan elektronik serta LSM, dll) yang tidak puas dan melakukan pengawasan eksternal melalui pemberitaan, laporan dan/atau pengaduan. “Sstt..awas!! banyak yang mengawasi..Silahkan diawasi, pelayanan Direktorat Jenderal Perbendaharaan akuntabel, transparan dan tanpa biaya..anti pungli! Demikian gambaran situasi pengawasan dalam karikatur karya Hafiz Yusuf dari KPPN Muko Muko.


“Mata” dan “telinga” pengawasan oleh masyarakat dan/atau stakeholders kadang memang lebih ampuh dan mampu mempengaruhi proses pengambilan kebijakan pada penyelenggara pelayanan publik. Oleh karena itu, tulisan ini lebih memfokuskan pengawasan eksternal oleh masyarakat. Sebagaimana diatur pada Pasal 18 UU Nomor 25 Tahun 2009, masyarakat antara lain berhak: (a) mengawasi pelaksanaan standar pelayanan, (b) mendapat tanggapan terhadap pengaduan yang diajukan, (c)memberitahukan kepada pimpinan penyelenggara untuk memperbaiki pelayanan apabila pelayanan yang diberikan tidak sesuai dengan standar pelayanan, (d) mengadukan pelaksana yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada penyelenggara dan ombudsman, (e) mengadukan penyelenggara yang melakukan penyimpangan standar pelayanan dan/atau tidak memperbaiki pelayanan kepada pembina penyelenggara dan ombudsman dan (f) mendapat pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan.


Apabila masyarakat dan/atau stakeholders merasa haknya untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan tidak terpenuhi, masyarakat berhak untuk menyampaikan pengaduan, laporan dan/atau gugatan. Dalam perspektif hukum, pengaduan dilakukan terhadap penyelenggara yang tidak melaksanakan kewajiban dan/atau melanggar larangan dan pelaksana yang memberi pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan. Pengaduan tersebut disampaikan kepada penyelenggara, ombudsman dan/atau DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Sedangkan laporan adalah tindakan hukum yang dilakukan masyarakat apabila penyelenggara diduga melakukan tindak pidana dalam penyelenggaraan pelayanan publik dan disampaikan kepada aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaaan dan/atau KPK). Selanjutnya gugatan merupakan tuntutan hukum yang disampaikan oleh masyarakat kepada penyelenggara atau pelaksana pelayanan publik melalui Peradilan Tata Usaha Negara apabila pelayanan yang diberikan menimbulkan kerugian di bidang Tata Usaha Negara dan/atau melalui Pengadilan Negeri dalam hal penyelenggara melakukan perbuatan melawan hukum (aspek perdata) dalam penyelenggaraan pelayanan publik.


Masyarakat (seluruh pihak, baik warga negara maupun penduduk sebagai orang-perseorangan, kelompok maupun badan hukum yang berkedudukan sebagai penerima manfaat pelayanan publik, baik secara langsung maupun tidak langsung) yang melakukan pengaduan dijamin hak-haknya oleh peraturan perundang-undangan. Sesuai Pasal 42 UU Nomor 25 Tahun 2009, pengaduan diajukan oleh setiap orang yang dirugikan atau oleh pihak lain yang menerima kuasa mewakilinya dan disampaikan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak pengadu menerima pelayanan. Pengaduan disampaikan secara tertulis memuat: nama dan alamat lengkap (dalam keadaan tertentu dapat dirahasiakan), uraian pelayanan yang tidak sesuai dengan standar pelayanan dan uraian kerugian materiel atau immaterial yang diderita, permintaan penyelesaian yang diajukan (dapat memasukkan tuntutan ganti rugi), tempat, waktu penyampaian dan tanda tangan. Pengaduan tersebut disertai dengan bukti-bukti sebagai pendukung pengaduannya.


Penyelenggara pelayanan publik wajib menerima, merespon dan memeriksa pengaduan dari masyarakat mengenai pelayanan publik yang diselenggarakannya. Pemeriksaan tersebut wajib berpedoman pada prinsip independen, nondiskriminasi, tidak memihak dan tidak memungut biaya. Bahan refleksi kita, sudah siapkan Ditjen Perbendaharaan, khususnya Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara dalam pengelolaan pengaduan dan penyelesaian pengaduan sesuai UU Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik??

Jumat, 25 Juni 2010

Analisis Pelaksanaan Pencairan SP2D Gaji di KPPN Jayapura

Berdasarkan Pasal 11 ayat (1) Peraturan Dirjen Perbendaharaan Nomor PER-37/PB/2009 tentang Petunjuk Teknis Pengalihan Pengelolaan Administrasi Belanja PNS Pusat kepada Satuan Kerja Kementerian Negara/Lembaga, pembayaran Belanja pegawai gaji dilaksankan secara langsung (LS) kepada pegawai melalui rekening masing-masing pegawai secara giral. Ketentuan ini seharusnya mulai berlaku terhitung mulai gaji Bulan Juli 2010. Namun bagi satker yang belum bisa melaksanakan hal tersebut, masih dimungkinkan pembayaran gaji melalui rekening Bendahara Pengeluaran setelah mendapat dispensasi dari Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Di KPPN Jayapura sendiri saat ini masih banyak pembayaran gaji yang tetap melalui Bendahara Pengeluaran, terutama bagi Satker di lingkungan TNI dan POLRI. PNS Pemerintah Pusat di Satker vertikal pun masih cukup banyak yang pencairan gaji bulan Juli ini masih melalui rekening Bendahara Pengeluaran. Alasan utama Satker adalah layanan perbankan yang berstatus BO II mitra kerja KPPN Jayapura masih belum menjangkau wilayah-wilayah pedalaman Papua seperti di Kab. Pegunungan Bintang, Kab. Mamberamo Raya dan Kab. Sarmi, sehingga para pegawai tidak dapat membuka rekening di Bank yang berstatus BO II mitra kerja KPPN Jayapura. Adapun bank yang berstatus sebagai BO II mitra kerja KPPN Jayapura saat ini adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cab. Jayapura, Bank Mandiri Cabang Jayapura, Bank Negara Indonesia (BNI) Cab. Jayapura dan Bank Papua Cab. Utama Jayapura.


Mekanisme baru ini merombak total praktek yang selama ini berlangsung, yaitu pembayaran gaji dilaksanakan secara langsung (LS) ke rekening Bendahara Pengeluaran, yang kemudian oleh Bendahara Pengeluaran gaji dibayarkan tunai kepada para pegawai. Praktek ini tentu saja rawan terjadi kehilangan, pemotongan/"penyunatan" yang tidak sesuai aturan, pencurian, dan perampokan. Ada juga Bendahara Pengeluaran yang menarik dana dengan cek, kemudian mentransfer gaji ke rekening para pegawai. Proses transfer tersebut dilakukan oleh bank sebagai sebuah badan usaha, bukan dalam statusnya sebagai Bank Operasional II (BO II), oleh karena itu biasanya dikenakan biaya administrasi. Apabila pencairan gaji langsung kepada rekening masing-masing pegawai, maka BO II tidak diperbolehkan untuk memungut biaya apapun dalam pencairan SP2D gaji tersebut. Pelanggaran atas hal ini dapat dikenakan denda sebesar 300% dari biaya yang dikenakan oleh BO II.

Pelaksanaan pembayaran gaji langsung ke rekening masing-masing pegawai memang memberi dampak yang lebih praktis dan aman dalam pengelolaan keuangan Satker di mana Bendahara Pengeluaran tidak perlu repot-repot lagi mengurusi pembayaran gaji para pegawai. Akan tetapi pelaksanaan mekanisme ini juga mengakibatkan beberapa masalah dalam tata kelola pencairan SP2D gaji melalui BO II apabila tidak segera dilakukan langkah-langkah pencegahan dan solusi untuk mengatasinya. Beberapa masalah tersebut di antaranya:

Pertama, Beban kerja BO II akan sangat berat, karena harus mencairkan dana langsung kepada para pegawai yang jumlahnya ribuan orang (selama ini hanya kepada ratusan Bendahara Pengeluaran saja). Beban kerja itu cukup berat karena selama ini BO II mitra kerja KPPN Jayapura masih meng-entry/mencairkan SP2D Gaji secara manual, belum menggunakan aplikasi sebagaimana BO I yang dapat mencairkan SP2D secara cepat dengan menggunakan Arsip Data Komputer (ADK) SP2D dari Aplikasi KPPN. Oleh karena itu perlu segera diluncurkan Aplikasi pada BO II yang bisa membaca ADK dari KPPN sebagaimana yang sudah berjalan di BO I. Aplikasi tersebut tentunya dibangun oleh BO II bekerja sama dengan Ditjen Perbendaharaan (Direktorat Sistem Perbendaharaan).

Kedua,
akan menimbulkan potensi pengembalian SP2D (Retur SP2D) yang sangat tinggi. Pengembalian SP2D dimaksud adalah pengembalian SP2D oleh BO II karena adanya kesalahan rekening, baik nama rekening, atau nomor rekening, dan atau nama bank tujuan. Sebagai indikator, pencairan satu SP2D yang ditujukan kepada 1 (satu) orang saja sering terjadi kesalahan rekening, apalagi dalam SPM/SP2D Gaji yang memuat puluhan, bahkan ratusan penerima, pasti potensi kesalahan rekening sangat tinggi. Kita dapat membayangkan apa yang terjadi kalau pembayaran gaji seorang pegawai tertunda karena adanya kesalahan rekening. Hal ini juga tentunya akan menambah beban pekerjaan BO II, KPPN dan juga Satker berkenaan dalam tindak lanjut atas adanya retur tersebut. Hal ini semakin rumit karena sampai saat ini belum ada aturan yang mengatur tentang Pengembalian SP2D oleh BO II. Peraturan yang ada saat ini yaitu Perdirjen Perbendaharaan Nomor PER-59/PB/2009 hanya mengatur Pengembalian SP2D oleh BO I dan Bank Indonesia. Pengelolaan rekening retur pun saat ini hanya mengatur rekening retur di BO I. Apabila kita mengacu dan mengadopsi aturan pada Perdirjen tersebut, apabila dalam tempo 7 (tujuh) hari kerja Satker bersangkutan belum menyampaikan ralat SP2D setelah mendapat pemberitahuan dari KPPN, maka KPPN akan memerintahkan BO II untuk menyetorkan dana tersebut ke rekening kas negara dengan SSPB melalui Bank/Pos Persepsi. Selanjutnya dibuatkan Berita Acara penyesuaian Sisa Pagu DIPA pada DIPA Satker berkenaan, dan Satker dapat mengajukan SPM kembali untuk membayar gaji pegawai yang sebelumnya diretur dan disetor ke kas negara tersebut. Sebuah proses yang cukup rumit dan birokratis, dan tentunya akan sangat mengecewakan pegawai yang gajinya diretur! Oleh karena itu perlu segera dibuat aturan yang mengatur proses pencairan dana SP2D melalui rekening masing2 pegawai, khususnya apabila terjadi pengembalian/retur SP2D.

Ketiga, belum adanya kesepahaman atas rekening masing-masing pegawai yang ditunjuk dalam SPM/SP2D, apakah harus seragam pada satu bank ataukah boleh pada beberapa bank yang berbeda. Masih adanya multi tafsir atas hal ini mengakibatkan masih banyak Satker yang rekening para pegawainya tidak seragam pada satu bank sehingga hal ini akan mempersulit proses pencairan dana gaji tersebut. Kesulitan dimaksud antara lain dalam hal penentuan BO II yang akan mencairkan SP2D tersebut. Misalkan dari 100 orang pegawai penerima pembayaran yang ditunjuk dalam SP2D, 40 orang mempunyai rekening di Bank Mandiri, 30 orang di BRI dan 30 orang di BNI, bank manakah yang harus mencairkan SP2D tersebut?? Pada dasarnya semua bank tersebut memenuhi syarat untuk mencairkan, namun biasanya KPPN Jayapura akan menunjuk pencairannya kepada BO II yang lebih banyak tempat para pegawai membuka rekening. Dalam contoh tadi maka yang ditunjuk sebagai BO II nya adalah Bank Mandiri. Hal ini sebenarnya bertentangan dengan prinsip BO II yang seharusnya hanya mencairkan SP2D Gaji ke rekening di internal banknya, bukan mencairkan dana ke rekening bank lain yang mengharuskan dilakukan transfer sesuai aturan perbankan yang berlaku. Biasanya proses transfer antar bank tersebut dikenakan biaya administrasi, sedangkan BO II dilarang mengenakan biaya apapun dalam proses pencairan dana SP2D. Di samping itu, jika BO II harus mencairkan juga gaji ke rekening bank yang berbeda, dikuatirkan dana gaji tidak akan masuk ke rekening pegawai yang ditunjuk pada hari yang sama dengan tanggal SP2D. Hal ini tentunya akan mengecewakan dan merugikan para pegawai! Untuk mengatasi masalah ini, penulis selaku Kasi Bank/Giro Pos KPPN Jayapura telah menghimbau para Satker agar rekening para pegawai seragam pada satu bank demi kelancaran pencairan dana gaji itu sendiri. Akan tetapi mengingat petunjuk teknis akan hal itu belum ada, KPPN Jayapura juga tidak dapat menolak SPM Gaji Satker yang rekening pegawainya berbeda-beda bank.

Selain ketiga masalah khusus yang terkait dengan pencairan gaji langsung ke rekening masing-masing pegawai di atas, secara umum juga terdapat masalah dalam pemrosesan SPM Gaji Satker. Dari sisi batas akhir pengajuan SPM Gaji Induk ke KPPN sendiri terdapat dualisme aturan yang saling bertentangan. Apabila mengacu pada Perdirjen 66/PB/2005, batas akhir pengajuan SPM Gaji Induk adalah tanggal 15 bulan sebelumnya. Sedangkan menurut PER-37/PB/2009, batas akhir pengajuan SPM Gaji tersebut adalah tanggal 10 bulan sebelumnya. Dalam praktek pelaksanaannya pun kedua aturan tersebut dilanggar dan tidak pernah ditaati, baik oleh Satker maupun oleh KPPN sendiri. Artinya, pengajuan SPM Gaji Induk yang disampaikan melampaui tanggal tersebut pun masih diterima dan diproses oleh KPPN. Praktek yang berlangsung terus-menerus ini lama-kelamaan mengakibatkan kedua peraturan tersebut menjadi "mandul" dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi karena terus menerus dilanggar. Perlu dilakukan penegakan aturan sebagai "shock therapy" agar Satker dan KPPN sama-sama tertib dalam penyelesaian SPM/SP2D Gaji ini. Untuk itu perlu ketegasan Seksi Perbendaharaan melalui para petugas di Front Office. Ketidaktertiban ini mengakibatkan Seksi Bank/Giro Pos yang harus menyampaikan permintaan dana gaji dan pencairan dana gaji melalui Surat Perintah Transfer (SPT) 3 hari sebelum tanggal pembayaran gaji menjadi terkendala. Penyampaian SP2D Gaji Induk ke BO II paling lambat 5 hari sebelum tanggal pembayaran gaji pun menjadi tidak dapat dilaksanakan secara konsekuen oleh KPPN.


Rabu, 05 Mei 2010

Menjadi Pegawai Yang Memiliki Nilai Tambah


  • Pendapat umum mengatakan menjadi PNS itu pintar goblok sama. Mau sangat pintar, cukup pintar dan bodoh sekalipun-asal pangkat/golongan dan masa kerjanya sama-gaji/pendapatan yang diperoleh sama saja. Pendapat ini tentu saja tidak salah 100%, harus kita akui dengan jujur ada kebenarannya. Di lingkungan Kemenkeu pun- yang sudah memberlakukan remunerasi berdasarkan grade tertentu – pendapat umum ini masih ada benarnya. Seorang Kepala Seksi sudah pasti akan mendapatkan grade tertentu yang sudah ditetapkan, tanpa memandang atau menilai kinerja yang bersangkutan. Begitu juga dengan Kepala Bagian/Kepala Bidang/Kepala Subdirektorat dan seterusnya sampai jabatan eselon paling tinggi, semua sudah ada patokan grade atau peringkat remunerasinya.

    Terlepas dari itu semua, jika anda adalah pegawai yang punya semangat untuk maju dan berkembang, anda harus tetap meningkatkan dan mengembangkan diri supaya memiliki NILAI TAMBAH yang tidak dimiliki oleh pegawai lain. Nilai tambah itu sesuatu yang sangat penting, yang tidak dimiliki oleh orang lain dan membuat diri kita menjadi “spesial”. Tung Desem Waringin, seorang motivator terkemuka dalam bukunya Financial Revolution menggambarkan nilai tambah tersebut dengan ilustrasi yang sangat menarik tentang prinsip mengenai nilai tambah sebagai berikut:
     Hidup adalah nilai tambah, tapi kalau semua hidup, berarti hidup bukan lagi nilai tambah melainkan nilai standar.
     Jujur adalah nilai tambah, tapi kalau semua jujur, berarti jujur bukan lagi nilai tambah melainkan nilai standar;
     Mencapai target 100% adalah nilai tambah, tapi kalau semua mencapai target 100%, berarti mencapai target 100% bukan lagi nilai tambah melainkan nilai standar.

    Dengan prinsip yang digambarkan Tung Desem Waringin di atas, berarti seseorang bisa dikatakan memiliki nilai tambah jika dia benar-benar memiliki “sesuatu” yang tidak dimiliki oleh orang lain, bukan sekedar punya nilai lebih yang banyak juga dimiliki orang lain, sehingga menjadi “nilai standar”. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di kantor di lingkungan Kementerian Keuangan tempat saya bekerja, saya memberikan ilustrasi prinsip nilai tambah sebagai berikut:
     Masuk kantor tepat waktu adalah nilai tambah, tapi kalo semua pegawai masuk kantor tepat waktu, berarti masuk kantor tepat waktu bukan lagi nilai tambah melainkan nilai standar.
     Tidak menerima gratifikasi adalah nilai tambah, tapi kalo semua pegawai tidak menerima gratifikasi, berarti tidak menerima gratifikasi bukan lagi nilai tambah melainkan nilai standar.
     Pintar adalah nilai tambah, tapi kalo semua pegawai pintar, berarti pintar bukan lagi nilai tambah melainkan nilai standar.
     Penerbitan SP2D oleh KPPN Percontohan paling lambat 1 jam adalah nilai tambah, tapi kalo semua penerbitan SP2D oleh seluruh KPPN paling lambat 1 jam juga, berarti penerbitan SP2D oleh KPPN Percontohan paling lambat 1 jam bukan lagi nilai tambah melainkan nilai standar.
     Dan banyak lagi ilustrasi lainnya, silahkan pembaca membayangkan sendiri.

    Mari membuat nilai tambah dalam diri kita!
    Nilai tambah pertama yang harus selalu ada adalah bisa dipercaya. Seorang pegawai yang ketahuan pernah membuka rahasia kantor yang seharusnya tidak boleh dipublikasikan, melakukan manipulasi data, bekerja asal-asalan, selalu menunda-nunda pekerjaan, sudah pasti akan dikucilkan oleh pimpinan. Bisa dipercaya adalah modal utama di seluruh bidang kehidupan. Bayangkan apabila anda adalah seorang Kepala Seksi atau Kepala Kantor yang membutuhkan pegawai untuk menyelesaikan sebuah pekerjaan yang sangat penting dan mendesak. Sudah pasti yang dipilih adalah pegawai yang dapat dipercaya. Atau bayangkan jika anda adalah Sekretaris Ditjen Perbendaharaan, sudah pasti yang akan anda tunjuk sebagai Kepala Bagian (Eselon III) di Sekretariat Ditjen Perbendaharaan adalah pegawai-pegawai yang sudah anda kenal dan bisa dipercaya!

    Nilai tambah yang kedua adalah kita harus menghasilkan lebih daripada yang kita terima, lebih dari pegawai lain. Lebih dari yang kita terima adalah bila kita telah diberikan remunerasi Rp8.000.000, kita harus memberi ”lebih” dari Rp8.000.000 kepada organisasi (misalnya dengan menghasilkan penerimaan negara yang lebih besar). Bila kita hanya memberi sekedarnya, kita pas dan layak untuk tidak mendapatkan lagi remunerasi. Yang dimaksud dengan lebih dari pegawai lain adalah memberikan kinerja yang lebih ”dahsyat” daripada sesama pegawai pada level yang sama. Kita boleh sama-sama sebagai Kepala Seksi, tapi tunjukkanlah bahwa kinerja anda lebih hebat dari rekan anda sesama Kepala Seksi. Mungkin anda adalah seorang Kepala Seksi yang jago presentasi, sangat menguasai detail pekerjaan anda, mampu menyelesaikan pekerjaan dengan lebih cepat dari deadline yang ditentukan, atau mampu memimpin staff anda dengan lebih baik. Sebagai pelaksana, tunjukkanlah bahwa diri anda adalah staff yang brilian, mampu bekerja dengan cepat dan tepat sesuai dengan arahan pimpinan.

    Nilai tambah yang ketiga adalah inisiatif untuk menyelesaikan masalah. Betapa senangnya pimpinan jika kita adalah pegawai yang berinisiatif untuk menyelesaikan suatu masalah di kantor. Sebaliknya betapa jengkelnya hati pimpinan jika memiliki anak buah yang hanya bisa bekerja ”standar”, terlalu kaku berpedoman pada Standard Operating Procedure sehingga mengabaikan pendekatan manusiawi ketika menghadapi situasi khusus yang memerlukan kebijaksanaan, tidak mau ”jemput bola”, bersikap masa bodoh, hanya bekerja setelah disuruh berulang-ulang oleh atasan dan tidak mau bekerja sama dengan pegawai lainnya dalam mencapai tujuan organisasi. Seorang pegawai yang memiliki inisiatif akan segera menyelesaikan pekerjaannya tanpa perlu menunggu sampai disuruh oleh atasannya. Ketika dia tahu ada masalah, sesuatu yang tidak beres, dia langsung berinisiatif untuk menyelesaikan masalah tersebut.

    Nilai tambah yang keempat adalah berperilaku menyenangkan. Apalah artinya anda pegawai yang pintar tapi berperilaku sombong dan suka meremahkan orang lain. Apalah artinya jabatan anda tinggi, anda adalah seorang pimpinan, tapi sikap anda masih seperti ”preman pasar”, otoriter, dan tidak menghargai anak buah. Apalah artinya anda pegawai yang rajin, tapi bersikap acuh, tidak menghormati pimpinan. Jaga penampilan, kedisiplinan, kesopanan, omong baik di depan dan di belakang. Pegawai yang selalu omong jelek di belakang dan bergosip sama sekali tidak menyenangkan. Alangkah beruntungnya anda yang berperilaku menyenangkan karena anda pasti akan mendapatkan banyak manfaat dan keberuntungan dalam karir anda.

    Langkah selanjutnya bila kita sudah memiliki nilai tambah, kita harus mengkomunikasikan nilai tambah kita tersebut kepada orang yang tepat. Walaupun kita memiliki nilai tambah, tapi tidak pernah dikomunikasikan, ya tidak ada orang yang tahu. Mengkomunikasikan nilai tambah itu pun harus kepada orang yang tepat, yaitu kepada pimpinan organisasi anda, bila perlu sampai ke pejabat Eselon I. Kalau kita hanya mengkomunikasikan nilai tambah (prestasi) kita kepada sesama Kepala Seksi, paling-paling kita hanya mendapat pujian ”Wah...hebat”, tetapi tidak akan mendapat promosi yang lebih baik. Mengkomunikasikan nilai tambah tersebut itu juga perlu dilakukan kepada banyak orang, khususnya kepada para petinggi-petinggi organisasi sehingga kita menjadi ”terkenal” dan pastinya akan mendapat perhatian lebih. Tapi harus diingat bahwa sikap tersebut bukan berarti kita menjadi penjilat. Terakhir, mengkomunikasikan nilai tambah diri kita harus dilakukan dengan cara yang tepat, isinya tepat, sasarannya tepat, waktu dan tempatnya tepat. Mari kita sama-sama membuat nilai tambah dalam hidup kita dan ”memanfaatkan” nilai tambah tersebut dengan positif sehingga membuat diri kita menjadi lebih sukses dalam karir.