Jumat, 24 Oktober 2008

REVITALISASI PANITIA/PEJABAT PENGADAAN


Oleh: Toni, S.H.

Pemegang Sertifikat Keahlian Pengadaan Kualifikasi L4

Panitia/Pejabat Pengadaan, demikian nama yang diberikan kepada tim/personil yang diangkat oleh pejabat yang berwenang pada suatu instansi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan penyedia barang/jasa. Pemilihan penyedia barang/jasa adalah kegiatan untuk menetapkan penyedia barang/jasa yang akan ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan. Panitia Pengadaan adalah unsur yang sangat penting dalam mekanisme pelaksanaan anggaran karena tanpa adanya Panitia/Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan maka anggaran yang ada tidak dapat direalisasikan, khususnya yang bersifat kontraktual.

Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur bahwa Panitia Pengadaan diangkat oleh Pengguna Barang/Jasa. Panitia Pengadaan mesti tunduk kepada Pengguna Barang/Jasa sebagai pejabat yang mengangkatnya. Dalam rumusan formal pada Pasal 10 ayat (5) huruf h dinyatakan salah satu tugas, wewenang dan tanggung jawab Panitia Pengadaan adalah membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada Pengguna Barang/Jasa. Hal ini memberikan gambaran yang sangat jelas bahwa kedudukan Panitia Pengadaan adalah di bawah Pengguna Barang/Jasa. Kedudukan yang demikian membuat Panitia Pengadaan “agak sulit” bekerja secara profesional dan mandiri atas dasar kejujuran sebagaimana yang dituntut oleh Keppres Nomor 80 Tahun 2003 karena posisinya yang lemah di hadapan Pengguna Barang/Jasa. Dengan kedudukan yang lebih tinggi, bukan mustahil kalau Pengguna Barang/Jasa dapat mengintervensi pelaksanaan pemilihan penyedia barang/jasa yang dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan.

Melalui Perpres Nomor 8 Tahun 2006 tentang Perubahan Keempat Keppres Nomor 80 Tahun 2003, ada perubahan yang cukup signifikan. Salah satunya adalah Panitia Pengadaan/Pejabat Pengadaan/Unit Layanan Pengadaan tidak lagi diangkat oleh Pengguna barang/Jasa (baca: Pejabat Pembuat Komitmen), tetapi diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Begitu juga halnya dengan Pejabat Pembuat Komitmen diangkat oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran. Dengan demikian secara normatif kedudukan antara Panitia Pengadaan dan Pejabat Pembuat Komitmen adalah setara. Namun demikian, Panitia Pengadaan tetap harus “membuat laporan mengenai proses dan hasil pengadaan kepada Pejabat Pembuat Komitmen”. Ini artinya kedudukan Pejabat Pembuat Komitmen tetap lebih “superior” dibandingkan dengan Panitia Pengadaan. Maklumlah, secara hukum penanggung jawab baik dari segi administrasi, fisik, keuangan dan fungsional atas pengadaan barang/jasa adalah Pejabat Pembuat Komitmen.

Tentu bukan berarti Panitia Pengadaan bisa lepas tangan begitu saja. Apabila ada bukti-bukti kuat Panitia pengadaan melakukan KKN dalam proses pemilihan penyedia barang/jasa, maka kepada mereka tetap dapat diberikan sanksi, baik sanksi administratif, perdata bahkan pidana. Mungkin ini yang menyebabkan banyak pejabat/pegawai tidak bersedia ditunjuk sebagai Panitia Pengadaan dan atau Pejabat Pembuat Komitmen. Keengganan tersebut umumnya didasari oleh “ketakutan” akan sanksi hukum yang siap mengancam apabila mereka tidak “pintar-pintar” melaksanakan tugas.

*****

Pasal 10 ayat (4) Keppres 80 Tahun 2003 menentukan syarat untuk diangkat sebagai Panitia/Pejabat Pengadaan/anggota Unit Layanan Pengadaan adalah:

a. Memiliki integritas moral, disiplin dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;

b. Memahami keseluruhan pekerjaan yang akan diadakan;

c. Memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas panitia/pejabat pengadaan/unit layanan pengadaan yang bersangkutan;

d. Memahami isi dokumen pengadaan/metode dan prosedur pengadaan berdasarkan Peraturan Presiden ini;

e. Tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pejabat yang mengangkat dan menetapkannya sebagai panitia/pejabat pengadaan/anggota unit layanan pengadaan;

f. Memiliki sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah.

Saya mencoba menganalisis persyaratan di atas. Persyaratan pada huruf a di atas sangat normatif! Apakah indikatornya untuk menentukan integritas moral, disiplin dan tanggung jawab seseorang Pejabat/Pegawai yang ditunjuk sebagai Panitia Pengadaan tersebut? Daftar Penilaian Pekerjaan Pegawai (DP3)? Selama ini kita tahu (tapi banyak yang pura-pura tidak tahu) bahwa DP3 itu lebih pada formalitas belaka! Persyaratan pada huruf b, c dan d dalam kenyataannya juga masih sangat memprihatinkan. Hasil ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa Pemerintah yang dilaksanakan oleh Bappenas menunjukkan tingkat kelulusan peserta yang sangat rendah. Ini artinya kemampuan peserta menguasai prosedur pengadaan masih sangat minim. Di bawah ini saya kutip beberapa hasil ujian sertifikasi keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah darihttp://www.bappenas.go.id/:

• Ditjen Bina Marga Dep.PU, ujian tgl 26 Juli 2006, Peserta 143, Lulus 37 (25,87%), L2=35, L4=2.

• Bareskrim Mabes POLRI, ujian tgl 27 Juli 2006, Peserta 65, Lulus 1 (1,53%), L2.

• BKD Pemkot Malang, ujian tgl 5 Sept 2006, Peserta 147, Lulus 20 (13,60%), L2=16, L4=4.

• Sekretariat Pemkab Kutai, ujian tgl 6 Sept 2006, Peserta 132, Lulus 3 (2,27%), L2.

• Badiklat Pemprov Jateng, ujian 8 Sept 2006, Peserta 189, Lulus 6 (3,17%), L2.

Hasil yang cukup bagus adalah ujian sertifikasi yang dilaksanakan Tim Penyempurnaan Pengelolaan Keuangan & Administrasi Pendapatan Negara (Government Financial Management and Revenue Administration Project – GFMRAP) – Depkeu. Ujian dilaksanakan tanggal 13 September 2006 dengan Peserta 46 orang, Lulus 30 peserta (65,21%), dengan predikat L2=21 peserta dan L4=9 peserta.

Kemudian persyaratan pada huruf e memang lebih jelas indikatornya. Akan tetapi harus diingat bahwa conflic of interest, kongkalikong, KKN, dan bentuk penyelewengan lainnya tidak hanya dapat terjadi antara personal yang memiliki hubungan keluarga. Dalam praktek birokrasi kita, hubungan perkoncoan/group masih sangat dominan. Like and dislike masih sangat kental nuansanya dalam urusan mutasi, promosi dan atau pengangkatan seorang pejabat/pegawai dalam suatu tim/panitia. Akibat sistem rekrutmen yang tidak memiliki standar baku, jangan heran kalau ada Panitia/Pejabat Pengadaan pada instansi Pemerintah yang hingga saat ini belum memiliki sertifikat bukti keikutsertaan dalam pelatihan pengadaan barang/jasa. Padahal dalam masa transisi sampai 31 Desember 2007, hal itu diwajibkan dengan akibat hukum pengadaan yang dilaksanakan tidak sah apabila tidak dipenuhi.

Persyaratan pada huruf f yang berdasarkan Perpres No.8 Tahun 2006 mulai berlaku 1 Januari 2008 juga hingga saat ini hasilnya masih belum memuaskan sebagaimana gambaran hasil ujian yang telah saya kutip di atas. Bahkan bukan tidak mungkin, Pemerintah kembali menunda pemberlakuannya dengan menerbitkan Perpres yang baru. Kalau saja Pemerintah konsisten, seharusnya persyaratan sertifikasi tersebut tidak boleh ditunda-tunda lagi pelaksanaannya demi tercapainya Panitia/Pejabat Pengadaan yang profesional.

Coutry Procurement Assesment Report 2001, Bank Dunia menyatakan: “Sistem pengadaan pemerintah yang efektif sangat penting dalam peyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sistem pengadaan yang buruk mengakibatkan biaya-biaya tinggi bagi pemerintah maupun masyarakat. Sistem yang demikian mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan proyek yang selanjutnya memperbesar biaya, menghasilkan kinerja yang buruk dan/atau menunda manfaat proyek bagi masyarakat. Ketidakberesan sistem pengadaan selama ini membuka peluang korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga menimbulkan banyak protes dan kecurigaan terhadap integritas proses pengadaan. Pada akhirnya, permasalahan tersebut dapat mengurangi minat perusahaan yang baik (nasional maupun asing) untuk berpartisipasi dalam pelelangan, sehingga pemerintah akan kehilangan kesempatan untuk memperoleh harga yang murah untuk barang dan jasa yang lebih baik. Dari berbagai aspek, sistem pengadaan pemerintah di Indonesia belum berfungsi dengan baik. Sistem tersebut tidak berorientasi ke pasar, rawan terhadap penyalahgunaan dan manipulasi, serta mengurangi nilai dana untuk kepentingan rakyat.” (Sumber:http://www.iprocwatch/)

*****

Kita harus berani mengakui dengan jujur bahwa sistem pengadaan kita belum berfungsi dengan baik dan profesionalisme Panitia/Pejabat Pengadaan maupun Pejabat Pembuat Komitmen masih kurang. Padahal meningkatkan profesionalisme, kemandirian dan tanggung jawab Pejabat Pembuat Komitmen, Panitia/Pejabat Pengadaan dan Penyedia Barang/Jasa adalah kebijakan umum pemerintah dalam pengadaan barang/jasa yang harus diwujudkan secepatnya.

Khusus untuk Panitia/Pejabat Pengadaan, perlu dilakukan revitalisasi guna meningkatkan profesionalisme, kemandirian dan tanggung jawabnya. Saya berpendapat, revitalisasi Panitia/Pejabat Pengadaan tersebut misalnya:

Pertama, sebaiknya ada ketentuan tentang mekanisme pengangkatan Panitia/Pejabat Pengadaan dalam Perpres. Alangkah baiknya kalau pengangkatan Panitia/Pejabat Pengadaan pada suatu instansi melalui suatu ujian kepatutan dan kelayakan oleh tim yang independen (misalnya dari Inspektorat Jenderal masing-masing Departemen, BPK atau BPKP), tidak asal main tunjuk sesuka hati pejabat pada suatu instansi pemerintah.

Kedua, penunjukan Panitia/Pejabat Pengadaan harus benar-benar memperhatikan aspek kompetensi dan kemampuan profesi, bukan sekedar karena faktor “kedekatan” atau adanya “hubungan khusus”, apalagi karena “waskat” (wajib setor kepada atasan) nya bagus. Persyaratan sertifikasi keahlian pengadaan (minimal memiliki sertifikat diklat pengadaan sampai 31 Desember 2007) harus dilaksanakan dengan konsekuen oleh instansi pemerintah.

Ketiga, kepada Panitia/Pejabat Pengadaan tidak hanya dibebani dengan tugas dan tanggung jawab, tapi juga hak yang layak, misalnya: honorarium yang memadai. Selama ini kepada mereka belum diberikan honorarium yang layak, sehingga sangat mengganggu kinerja, kemandirian dan tanggung jawabnya. Dalam Peraturan Menteri Keuangan yang terbaru Nomor 96/PMK.02/2006 Tanggal 16 Oktober 2006 tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2007, kepada Pejabat Pengadaan hanya diberikan honorarium Rp 150.000,-/bulan. Untuk Panitia Pengadaan diberikan honorarium bervariasi sesuai dengan jenis pengadaan dan nilai pagu pengadaannya, dari yang terendah hanya Rp 200.000,-/paket untuk nilai pagu pengadaan di atas Rp 50 juta s.d. 100 juta, sampai paling tinggi hanya Rp 2.250.000,-/paket untuk nilai pagu pengadaan di atas Rp 1 triliun.

Keempat, kepada Panitia/Pejabat Pengadaan dapat diberikan status “Jabatan Fungsional” dan “dibebaskan” dari tugas strukturalnya selama menjadi Panitia/Pejabat Pengadaan, mengingat untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Panitia/Pejabat Pengadaan memerlukan perhatian, tenaga dan waktu yang cukup ekstra.

Kelima, Panitia/Pejabat Pengadaan kedudukannya setara dengan Pejabat Pembuat Komitmen, sehingga praktek menjadikan Panitia/Pejabat Pengadaan hanya sebagai alat legitimasi dan justifikasi prosedural administratif belaka dari suatu proses pengadaan harus dihilangkan! Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa banyak pekerjaan yang sebenarnya sudah dilaksanakan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (khususnya yang menggunakan metode Pemilihan/Seleksi Langsung dan Penunjukan Langsung), kemudian kepada Panitia/Pejabat Pengadaan diperintahkan untuk “menyelesaikan” dengan “pintar-pintar” prosedural administratifnya.

Keenam, untuk menjamin kemandirian dan independensi Panitia/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan tugasnya, sebaiknya Panitia/Pejabat Pengadaan bukanlah bawahan langsung dari Pejabat Pembuat Komitmen, tapi pegawai yang secara struktural tidak berada di bawah Pejabat Pembuat Komitmen.

Panitia/Pejabat Pengadaan adalah garda terdepan/ujung tombak dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Apabila garda terdepan dimaksud dapat menjalankan tugas secara tertib, profesional, mandiri atas dasar kejujuran dan bertanggung jawab, maka saya yakin pengadaan barang/jasa pemerintah yang efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 Keppres Nomor 80 Tahun 2003 dapat tercapai.

SPIRIT UNTUK MELAYANI DENGAN TULUS



Departemen Keuangan khususnya Ditjen Perbendaharaan terus mencanangkan komitmen untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat. “Reformasi birokrasi” , demikian istilah yang sering didengung-dengungkan. Gaung reformasi birokrasi tersebut juga bergema lantang sampai ke ujung paling timur INDONESIA, tepatnya di KPPN Jayapura. Reformasi tersebut diawali dengan pengisian pejabat/pelaksana melalui proses assesment yang ketat sampai dengan penerapan Standard Operating Procedure (SOP) secara konsekuen. Kepala Kantor pun tak bosan-bosannya dalam setiap kesempatan selalu mengingatkan seluruh staff yang ada untuk dapat bekerja dengan baik sesuai dengan SOP dan ketentuan yang berlaku.

KPPN Jayapura adalah salah satu KPPN Percontohan, maka semua prosedur pelayanan dilakukan dengan standar yang “prima”. Tak heran kalau pelayanan penerimaan SPM dan penerbitan SP2D selalu tepat waktu tanpa ada kendala yang berarti. Hal ini tentu saja sangat memuaskan Satker-Satker yang ada. Begitu juga dengan pelaksanaan rekonsiliasi di Seksi Verifikasi dan Akuntansi. Staff yang ada begitu sigap dalam melayani Satker-Satker. Bahkan terhadap Laporan Keuangan Satker yang bermasalah, staff yang ada dengan tulus membantu perbaikan laporan tersebut. Hal itu dilakukan agar ada kesesuaian antara data Sistem Akuntansi Instansi dan Sistem Akuntansi Umum yang sangat penting dalam penyusunan LKPP.

Spirit untuk melayani dengan tulus benar-benar ingin dilaksanakan di KPPN Jayapura. Saat ini di lobby utama gedung terpampang pengumuman Kepala Kantor “Pelayanan tidak dipungut biaya. Dilarang memberi imbalan kepada pegawai kami dalam bentuk apapun”. Dipintu masuk kantor juga ada tulisan “Selain Pegawai KPPN Dilarang Masuk”. Tujuannya tentu untuk meningkatkan pelayanan dan mencegah hal-hal yang dapat merusak citra dan kinerja pegawai. Stigma dan persepsi masyarakat terhadap pelayanan publik yang berbelit-belit, tidak transparan bahkan kadang-kadang terjadi pungutan tidak resmi, memang perlu diubah menjadi pelayanan publik yang mengedepankan aspek kecepatan, ketepatan, transparan serta tanpa biaya. Terhadap masyarakat yang tidak puas dengan pelayanan KPPN, saat ini juga terdapat layanan pengaduan yang dapat menampung pengaduan atau saran dari masyarakat. “Mari kita melayani dengan tulus, bukan karena fulus”, demikian dikatakan oleh salah satu pembesar di Ditjen Perbendaharaan. Semoga spirit ini mengilhami dan mampu diaktualisasikan oleh seluruh staff yang ada di KPPN Jayapura.